Jumat, 20 Februari 2009

the 3rd chapter of my novel

-singgasana-

Malam telah berganti pagi seiring bulan berganti matahari, kuselalu bersyukur di pagi cerah sperti ini aku masih bisa menghela nafasku dalam-dalam merasakan berkat yang Tuhan berikan padaku. Kugerakkan kedua tanganku keatas melakukan perenggangan tulangku yang masih kaku, sambil menguap aku duduk di baliho bamboo dan menyalakan sebatang rokok mild. Pikiranku melayang melihat daun menari-nari terkena sepoi angin dan menjatuhkan embunnya ke tanah cokelat basah karena kemarin hujan lebat mengguyur.

Disaat sendiri, diam dan merenung membuatku rindu sekali dengan keindahan kota semarang pada malam hari. Bukan hanya rindu dengan keindahan kelipnya lampu malam, aku juga rindu dengan seorang yang selalu duduk di singgasanaku dan menemaniku dengan secangkir kopi kalengannnya.

“ apa aku kangen dia?” aku berkata sendiri dan untuku sendiri. Kenangan bersamanya seakan terulang kembali di otaku, tanpa pikir panjang kuambil handuk lalu mandi untuk membersihkan diriku agar terlihat segar dari wajah lusuhku. Menyegarkan sekali mandi di pagi hari yang dingin, kuambil baju dinasku untuk ke kantor yang sudah lama aku tak mengecek perkembangnya. Mungkin alasanku sebenarnya bukan untuk mengecek bagaimana keadaan kantorku, ku hanya ingin duduk di singgasanaku mengenang semua ceritaku.

Disepanjang perjalananku ke semarang kudengaarkan lagu-lagu yang menguntai di radio, hamper semuanya di dominasi oleh lagu bernuansa melayu. Kupindahkan channel radio tetapi sia-sia, hamper semua lagunya juga bertema melayu dan band atau penyanyi yang sama pula, kuputar terus tombol untuk mengganti channel radio ku dan aku menemukan lagu yang lebih enak didengar daripada lagu sendu bernuansa melayu. Hingga akhirnya kumendengar lagu yang tak asing lagi bagiku.

A lonely road, crossed another cold state line

Miles away from those I love purpose hard to find

While I recall all the words you spoke to me

Can't help but wish that I was there

Back where I'd love to be, oh yeah

Dear God the only thing I ask of you is

to hold her when I'm not around,

when I'm much too far away

We all need that person who can be true to you

But I left her when I found her

And now I wish I'd stayed

’Cause I'm lonely and I'm tired

I'm missing you again oh no

Once again

There's nothing here for me on this barren road

There's no one here while the city sleeps

and all the shops are closed

Can't help but think of the times I've had with you

Pictures and some memories will have to help me through, oh yeah

Dear God the only thing I ask of you is

to hold her when I'm not around,

when I'm much too far away

We all need that person who can be true to you

I left her when I found her

And now I wish I'd stayed

’Cause I'm lonely and I'm tired

I'm missing you again oh no

Once again

Some search, never finding a way

Before long, they waste away

I found you, something told me to stay

I gave in, to selfish ways

And how I miss someone to hold

when hope begins to fade...

A lonely road, crossed another cold state line

Miles away from those I love purpose hard to find

Dear God the only thing I ask of you is

to hold her when I'm not around,

when I'm much too far away

We all need the person who can be true to you

I left her when I found her

And now I wish I'd stayed

’Cause I'm lonely and I'm tired

I'm missing you again oh no

Once again

-avenged sevenvold-

Entah kerasukan apa diriku hingga aku ikut menyanyikan kata per kata dari semua lyric lagu itu, mungkin lebih tepatnya aku berteriak-teriak daripada bernnyanyi karena suara dari radioku hanya speerti mengiringiku saja. Kurenungi disetiap kata pada lyric lagu ini mewakili akan setiap rasa hatiku saat ini. teringat semua kenangan dan waktu-waktu ku pandangi foto dirinya yang masih sengaja tidak kuhapus dari semua kameraku. Kutersenyum sendiri meingngat tingkahku jika sedang rindu dengan wanita bernama cintya, nama depan yang persis dengan nama ibuku membuat aku jarang memanggil namanya.

“tinnnn tinnnn” suara klakson mobil dan motor dibelakangku membuyarkan lamunanku, aku lupa kalau sedang berada di lampu merah yang sudah menjadi hijau. Pantas saja dengan sinis pengendara dibelakangku membunyikan klakson kendaraan mereka.

Tanpa terasa dua jam setengah kujalani perjalanan dari kota kudus hingga ke ibu kota jawa tengah yaitu semarang. Sudah banyak perbedaan yang kulihat dari kota sunyi ini, dimana-mana kendaraan merajalela tidak sperti sepuluh tahun silam ketika aku masih menimba ilmu perguruan tinggiku. Toko menjual ikan bandeng presto yang menjadi cirri khas makanan kota semarang sudah semakin semarak ditambah banyaknya toko lainya. Kantorku yang terletak di jalan pandanaran dekat sekali dengan simpang lima membuat banyak pengusaha-pengusaha mengincar kantor kecilku walaupun hanya untuk dijadikan lahan parkiran kendaraan yang datang ke toko mereka atau usaha mereka.

Kumasuki lahan parkir kantor kecilku, terlihat dua mobil dinas yang sengaja kuberikan kepada karyawan kepercayaanku untuk mengelolanya. Satpam merangkap menjadi juru parkir langsung menyapku ketika kubuka kaca mobil dan melambaikan tangan kepadanya.

“selamat siang pak.” Suara lantang dan keras bagaikan aku adalah seorang komandan perang yang siap memberi perintah untuk menyerbu lawanya.

“siang mas hadi. Gimana kabar anak-anak?” setelah kuparkirkan kendaraan kesayanganku di tempat teduh dan nyaman, dan kusapa orang yang sudah lama kukenal sejak aku masih menjadi mahasiswa. Terlihat wajah yang menjadi hitam legam karena teriknya matahari memperlihatkan betapa disiplin dia menjalani pekerjaanya. Sudah lama aku ingin mempunyai sikap mas hadi, dia begitu bertanggung jawab akan tugasnya, dan diapun benar-benar bertanggung jawab kepada kelima anaknya. Dan usaha mas hadi dibayar dengan sukses anak-anaknya yang tiga diantaranya mendapatkan beasiswa dan bisa menimba ilmu di perguruan tinggi negeri paling hebat di negara ini.

“baik-baik pak. Sudah lama tidak kesini?”

“iyah, saya punya banyak urusan diluar. Oke, saya masuk dulu mas.” Kuakhiri perbincangan singkatku melihat banyaknya kendaraan yang masih ingin parkir dan sangat membutuhkan bantuannya. Sudah lama juga ku tidak kekantorku sendiri, paling-paling jika hanya ada urusan begitu darurat baru aku mau ke kantor yang dimodali semua oleh orang tuaku.

Kumasuki loby dan melihat recepsionist muda, dan menyapaku juga.

“ada perlu apa pak?” hei, kukira dia ingin menyapaku tetapi dia malah menanyakan mengapa aku berdiri disini. Seharusnya aku tidak kaget dengan sikap recepsionist baru ini, karena memang aku tidak pernah berada di kantor dalam jangka waktu tiga tahun lamanya.

“kamu karyawan baru yah?” tanyaku serasa sangat berkuasa. Kukeluarkan kartu namaku disana bertuliskan namaku, nomor telepon dan pekerjaanku yang disana juga tertulis dimana aku mempunyai kantorku. Kuberikan kartu putih berfont arial hitam dan garis kuning emas di bagian pinggir kartu namaku.

“ohh, maaf pak gilang. Saya benar-benar tidak tahu.” Wanita muda itu membungkukan badanya sembari menyerahkan kartu namaku lagi.

“tidak masalah.” Sahutku mengambil kartu namaku lagi karena aku memang jarang membawa banyak kartu nama di dompetku. Sebenarnya aku kurang begitu suka dengan caraku memperlakukan bawahanku sperti itu, tapi memang sudah seharusnya kulakukan agar aku mempunyai wibawa sebagai petinggi di kantorku sendiri.

“noel” kusapa bawahan kepercayaanku yang dulu juga menjadi adik kelas semasa kuliahku, noel adalah orang yang sangat rajin di kelas semester pendek dahulu. Aku selalu menitipkan absensi kepadanya jika aku harus tidak masuk karena punya janji dengan dokter untuk chek up. Yah, dia juga salah seorang yang tahu keadaanku dan mengapa aku mengasingkan diriku sendiri jauh keperkebunan tembakau.

“gilang. Gimana kabarmu?” tanyanya meninggalkan pekerjaan yang terlhat menumpuk di meja kerjanya. Wajahnya terlihat khawatir karena kurang lebih sudah tiga tahun lamanya aku tidak menginjakkan kakiku di semarang.

“yah, aku gag bisa jawab wel.” Jelasku mendesah.

“sudahlah santai saja, serahkan semua sama aku.” terlihat dia benar-benar mengkhawatirkan aku. jika umurnya sudah pas untuk membuka kantor notaries sendiri kurasa sudah dilaksanaknya, umur yang masih muda dan kurangnya biaya membuatnya menyurutkan niatnya.

Lalu Kami berbincang-bincang banyak tentang urusan kantor sampai urusan pribadi kami. Ternyata orang yang dulu selalu menundukkan wajahnya dan berkata terbata-bata jika didekati perempuan kini sudah mempunyai wanita yang akan dijadikanya sebagai belahan hidupnya. Dan akupun bercerita tentang sely dimana pertemuan paling mengejutkan dalam hidupku. Kami bercerita banyak sekali entah bagaimana awalnya hingga kami larut dalam dunia obrolan layaknya seorang sahabat mencurahkan hatinya satu sama lain.

Hujan bergemuruh tidak menyurutkan semangat kami bercerita tentang keadaan kami, walaupun waktu di jam dinding menunjukkan pukul lima dimana para karyawan kami berpamitan untuk pulang ke rumah kediamanya masing-masing. Hujan yang begitu deras membuat sebagian karyawan berteduh pada bagian kantor yang tertutupi kanopi besar.

“nit nit niiiitt” suara handphone di kantong noel berbunyi. Dia mengeluarkan ponsel dan seperti membaca pesan singkat yang baru saja terkirim ke ponselnya. Aku sudah tahu saat seperti inilah yang akan memisahkan obrolan panjang kami karena waktu dan cuaca juga sudah menyerah mencobai kami. Kupersilahkan dia untuk pergi lebih dahulu sebelum dia memintaku untuk berpamitan. Bukan hanya dunia tetapi setiap orang juga bisa berubah, kuambil hikmah dari obrolanku bersama noel baru saja.

*

“gruuukk.” Jelas sekali suara itu bukan dari ponselku melainkan dari dalam perutku yang sedari tadi merengek diberikan sejumlah gizi baik kedalamnya. Kuberjalan melewati simpang lima yang dekat sekali dengan kantorku dan berhenti sejenak melihat apakah ada makanan lezat yang dapat menghentikkan perang di perutku. Kuhentikan langkahku di tenda bertuliskan kucingan, makanan tidak bergisi hanya berisi nasi beberapa sendok dan lauk apa adanya adalah tujuan akhirku. Hampir setiap aku kehabisan uang bulanan yang dikirimkan orang tua, aku pasti menikmati makan malam ku di tenda kucingan seperti ini.

Sebenarnya makanan sperti ini jelas tidak mengenyangkan tetapi jika empat bungkus ditambah gorengan dan segelas es teh manis benar-benar ampuh mendamaikan perut laparku. Kusulut rokok mild ku dan melihati mobil-mobil berlalu lalang, simpang lima mempunyai banyak pilihan makanan nikmat di setiap pinggirnya, tapi aku lebih rindu dengan suasana ini. setelah beberapa waktu kukuasi tempat duduk yang seharusnya diganti oleh banyak anak muda lainya untuk mencicipi masakan yang sudah pasti untuk menghemat pengeluaran mereka, kubayar beberapa lembar uang ribuan yang menggumpal di kantong celanaku.

Kubanting setir mobilku mengingat tujuan sebenarnya aku ke semarang, aku ingin sekali melihat singgasanaku yang selalu kubagi dengan wanita terindah dalam hidupku. Kulalui jalan menanjak menuju tempat itu, pembangunan benar-benar membuatku terkejut, rumah-rumah mewah berdiri kokoh di kanan dan kiri jalan. Seharusnya mobilku hanya dapat melaju hingga ke rumah-rumah ini, tapi jalan aspal terlihat masih baru membuatku lebih mudah untuk mencapai tempat tujuanku.

“hey, hey” kuberteriak sendiri melihat pagar besi besar menutupi jalan sekitar dan yang lebih mengangetkanku adalah tulisan besar menempel dipagar bertuliskan

“ Dilarang Masuk Milik Pribadi “

Jalan curam dan jauhnya dari pusat kota dan lebih lagi adalah suasana yang hanya dapat melihat bintang tak mungkin membuat pengusaha mempunyai minat untuk merelakan uang mereka membeli tanah seperti ini. kuhentikan mobilku tepat di depan pagar setinggi dua meter, tak ingin memusingkan apa yang sedang menghalangiku, kuloncati pagar dengan satu loncatan sekuat tenagaku.

“uhh.” Kutahan getaran kaki saat sampai ke pijakan tanah basah stelah loncat dari ketinggian pagar besi berkarat itu. Ternyata kejahatan semasa smaku dapat diperlukan juga, kumenyeringai bangga dengan semua kenakalanku pada waktu sma dahulu yang selalu meninggalkan pelajaran dan kabur dengan cara sama seperti kuloncati pagar besi ini. kutepukkan kedua telapak tanganku membersihkan karat dan cat yang mengelupas begitu kucengkram batang mistarnya, kuberjalan menyusuri jalan setapak menuju puncak dari bukit yang ditandai oleh batu besar. Pernah dahulu kukira hampir saja hilang nyawaku begitu bangun dari tempatku duduk dan kehilangan keseimbangan hingga aku harus berpegangan pada ilalang karena batu besar itu terletak di tebing curam.

Akhirnya aku dapat menikmati lagi semua kenangan ku disini. Perasaaanku tak menentu melihat bulan penuh begitu terang dan membentuk bulatan seperti aurora disekelilingnya. walaupun jutaan bintang tak ikut serta menghiasi indahnya bulan malam ini, kurasa sudah cukup indahnya panorama malam ini tuk sekedar mengobati rasa rinduku. Rasa yang sudah terpendam selama bertahun-tahun dan diriku butuh melampiaskanya pada semua pemandangn luar biasa.

“terima kasih Tuhan, Kau masih memberikanku banyak waktu menikmati kesemuanya ini.” setengah berbisik kupanjatkan doa syukurku masih bisa menikmati semua ciptaan-NYa.

*

Tak biasanya aku bisa bangun pagi, kulihat jam yang masih menempel pada lengan kiriku dan menunjukkan pukul 7 pagi. Mungkin dengan pengobatan rinduku kemarin bisa membuat tidur ku benar-benar pulas, biasanya jika pagi ini aku sudah terjaga semua otot di badanku masih mengeras. Kubuka pintu menuju beranda hotel yang mempelihatkan keindahan alam juga, tapi aku kurang tertarik pada panorama siang hari. Aku lebih suka melihat perpaduan kelipnya lampu malam dimana jutaan bintang dan terangnya bulan purnama menjadi inti sebuah pemandangan.

Kurogoh kantung celana bahanku mengambil pemantik dan sebungkus batangan tembakau untuk menemaniku masuk ke dalam dunia fana. Disetiap pagi aku memang selalu membayangkan bagaimana jika aku sudah bersama Tuhanku di sorga, aku juga tak pernah lupa akan setiap kasihNya memberikan ku nafas kehidupan sampai saat ini, akupun masih bisa merasakan emmbun yang berjatuhan di tanganku. Mungkin karena semua rasa syukurku ini aku diberikan kesempatan untuk mengubah semua nila di hidupku.

” Baptized in the river.I've seen a vision of my life.And I wanna be delivered.In the city was a sinner.I've done a lot of things wrong.But I swear I'm a believer.Like the prodigal son.I was out on my own.Now I'm trying to find my way back home.Baptized in the river.I'm delivered.I'm delivered.” Penggalan reff dari lagu grup band good charlotte berjudul the river yang menjadi nada dering ponsel ku, membuyarkan lamunanku. Kuambil ponsel dari tas kulit poloku dan melihat nama yang tertera di layar ponsel ku.

“ayah?” tanyaku dalam hati, jarang sekali dia menelponku jika tidak mempunyai urusan penting dan itupun juga urusan kerja dimana kantorku bisa menjadi partner untuk bekerja sama.

“halo yah?” kuangkat dan kusapa ayahku dengan semangat, meskipun hawa dingin merasukiku.

“halo nak, kamu dimana?” ayahku bertanya dengan cepat. Tapi, hei, bukankah sudah lama kita tidak bertemu? Bukankah seharusnya dia bertanya kabarku bagaimana?.

“aku disemarang sekarang. Ada apa yah?” aku lebih khawatir karena dia tidak menanyakan kabarku.

“oh gapapa, sekarang ayah sama mama lagi di rumah kamu. Tapi kamunya malah gag ada.” Jelas ayahku. Sekejap rasa khawatirku hilang mendengar penjelasannya, kukira ada sesuatu yang lebih mengagetkan aku tadinya. Dan tumben seorang mamaku tidak memberikan kabar jika ingin bertemu denganku, seminggu sekali dia pasti menanyakan kabarku melalui telepon dan juga sms.

”mau ngapain disana? Kok gag bilang-bilang dulu.” Tanyaku sedikit kecewa karena aku juga sudah kangen dengan mereka.

“ayah punya klien di pabrik dekat rumah kamu itu loh, jadi sekalian mampir.” Jawabnya. Ayahku adalah pengacara yang cukup terkenal di para pengusaha. Dia begitu hebat walaupun kadang-kadang pikiranya sangat kolot. Tapi semua terbukti dengan usaha kerasnya dia benar dalam setiap katanya, tapi tidak dalam seiap perasaan.

“yasudah kamu urus dulu pekerjaan kamu disana, nanti sore ayah sudah harus pulang ke Jakarta.” Belum sempat ku mengeluarkan kata-kata dia menyudahi pembicaraan kami dengan nada bicara sangat bijaksana seakan mengerti apa yang sedang aku lakukan disini. Mungkin pekerjaanya masih menunggu untuk diselesaikan, tapi jelas dari kalimatnya dia hanya ingin tahu dimana aku berada. entah mengapa aku bisa berpikir begitu, kurasa jiwa analisis ayahku turun dalam genku sehingga aku bisa berpikir seperti itu.

“oke yah, hati-hati di jalan.” Kuakhiri dan kututup telpon yang mengkomunikasikan aku dengan ayahku. Aku memang tidak terlalu suka berlama-lama mengenggam telpon, terlalu membosankan jika hanya untuk menghabiskan waktu. Tidak seperti anak muda sekarang yang selalu menghabiskan uang sakunya untuk membeli pulsa, dan menghabiskannya berlama-lama menelpon teman atau pacarnya. Lagipula setelah membaca buku tentang bahaya signal bagi tubuh menguatkan doktrin itu pada pikiranku.

Lama berselang waktu berjalan kuisi hanya berada di beranda kamar hotel berpredikat bintang tiga ini. aku terlena dengan angin sepoi menyilir perlahan di belakang kupingku, membuat segalanya menjadi nyaman. Tapi matahari tidak menghiraukan diriku yang masih menikmati basahnya embun di ujung dedaunan. Dengan terik panasnya dia memaksaku menyelesaikan semuanya,seaakan matahari itu berkata kepadaku “enyahlah kau dari hadapanku.” yah inilah salah satu alasan mengapa aku tidak terlalu suka menikmati keindahan alam di pagi dan siang hari. Apalagi jika sudah mendengar suara klakson dan knalpot kendaraan yang begitu ramai, benar-benar bisa membuyarkan kenikmatan yang diberikan alam kepadaku.

Kukumpulkan sisa-sisa tenaga untuk membangkitkan tubuku yang sudah berposisi enak bersandar di kursi. Tidak tahu karena sakit yang kuderita atau aku memang malas rasanya setiap bangun pagi aku selalu dihinggapi rasa capek yang berlebihan di pundakku. Kumasuki ruangan sebesar dua puluh lima meter persegi yang bernuansa kejawaan, disetiap pintu kamar dan kusen jendela berukir bunga-bunga teratai mengembang.

“ting tong” suara bel kamarku berbunyi, kutahan diriku yang baru saja ingin membanting tubuhku ke kasur.

“yah?” kubuka pintu kamarku melihat room servicer berdiri membawa pakaian setelan kemejaku berbalut plastic.

“kemejanya sudah selesai di cuci pak.” Kata room servicer menyerahkan pakaian berbau harum.

“oh iya, terima kasih ya pak.” Jawabku sembari menerima benda yang hanya satu-satunya kubawa dari rumahku. Setelah bernostalgia semalaman membuat bajuku lusuh, biasanya aku tidak perduli dengan penampilanku. Tapi nanti sore aku punya janji dengan noel untuk makan malam bersama kekasih hatinya. Pelayan kamar itu masih berdiri menantikan sesuatu dariku, hampir saja aku lupa akan sesuatu yang memang sudah seharusnya kuberikan pada pelayanan terbaik.

Kuberikan selembar uang sepuluh ribu bergambar sultan mahmudi baharudin II dan memberikkanya kepada pelayan kamar. Kuucapkan terima kasihku lagi kepada pelayan tua berjenggot panjang, sekilas aku melihatnya seperti pentolan grup band ternama yang aku lumayan kagumi musikalitasnya.

Tak kupedulikan pakaian setelan harumku menahan pegalnya pundak sampai punggung, kumasuki setelanku sembarangan membuat suara gemerisik karena plastic yang menutupinya bergesek. Tanpa banyak berpikir lagi, kuloncati tempat tidur bertinggi sekitar lututku dan menjatuhkan badanku layaknya mainan. Mataku seakan menuruti semua perintah capekku dan langsung menutup kelopaknya untuk memasuki ruang bawah sadarku.

*

Tepat jam dua siang tidak kurang tidak lebih aku terbangun dari mimpiku, suara bising alarm berasal dari ponsel genggamku segera kumatikan. Suasana siang ini jauh berbeda dengan pagi cerah bermentari terik, terlihat dari jendela kamarku langit menampakkan gerombolan awan berlarian. Sinar matahari terlihat seperti jalan menuju langit bagi para malaikat yang berada dibumi saat menembus celah diantara rengangan awan. Anginyapun ikut berubah drastis, kuingat tadi pagi aku masih bisa merasakan semilir udara melewati belakang kupingku, merasuki ku dengan lembut sentuhannya. sekarang bagaikan kipas angin berdouble blower angin itu mengacak-ngacak rambut ikal sebahuku.

Tanpa memikirkan apa yang akan langit berikan ke dunia, aku membasuh wajahku di wastafel cokelat terbuat dari kayu. Kulihat wajahku dari kaca yang tertempel tepat di atas wastafel, dandanan rambut sebahu ini sudah tidak cocok bagiku di usia tiga puluh tahun ini. kuniatkan diriku untuk memotong rambut gondrong selama kuliah sampai sekarang kubiarkan tetap sama agar terlihat lebih rapih dan sedikit tampak dewasa. Tujuanku tidak mengubah gaya dandananku memang kusengaja, karena aku harap suatu hari nanti aku bisa bertemu dengan cintya dan dia masih mengenaliku seperti pertama kali kubertemu dengannya.

Sudah banyak nasihat diberikan orang tuaku untuk memotong gaya rambutku,dengan segala daya dan upaya kuperjuangkan berambut seperti ini. jelas yang akan kulakukan merupakan bentuk dari keputus asaan diriku selama beberapa tahun tidak pernah sekalipun berjumpa ataupun mendengar kabar dari cintya. Terakhir kudengar dia sudah menjadi wanita hebat yang bisa melebarkan usaha warisanya lebih baik daripada orang tuanya. Aku paham betul mengapa itu semua bisa terjadi, pikiran mau mengambil resiko dengan perbandingan kecil berani dia taruhkan untuk mendapatkan apa yang di inginkannya.

Aku ingat saat dia dan aku bertaruh lari menuruni bukit untuk mendapatkan tempat singgasana batuku di puncak bukit yang sekarang aku tidak tahu siapa yang telah membeli bukit kenanganku.

“ini kan bukan bukit punya kamu, jadi aku juga berhak dong duduk disini.” Itulah jawaban egois saat dulu aku mengusir pergi dirinya karena berulang kali kutemukan dia menguasai singgasanaku.

apa-apaan nih, aku pertama kali yang nemuin tempat ini.” sergahku tidak mau kalah.

“ ya udah, kita taruhan ajah, siapa yang menang dapet tempat ini.”

“okeh, apa taruhannya?” jawab ku terasa tertantang.

“hmm, kita lari ke bawah buikt, yang lebih dulu sampai dia yang menang.” Sambil berkacak pinggang dia melontarkan taruhannya.

“Hei, aku cowok apa tantanganya gag salah?” merasa tersindir kutanya lagi apa dia yakin untuk melakukan taruhan tiu.

“maaf yah, aku gag akan kalah sama orang perokok akut kayak kamu. Aku pasti menang kalo Cuma lawan kamu aja.” Kata-katanya langsung membaut emosiku naik, aku selalu sensi jika seseorang menegurku tentang kebiasaan jelek merokokku.

“gag usah banyak ngomong lagi, kapan taruhanya?” tanyaku sudah tidak sabar untuk membungkam mulut gadis kecil ini.

“hmm, dari seKARANGGG!!” dia berlari mencuri start. Aku tersenyum sebentar melihat tingkahnya, layaknya lelaki sebenarnya kubiarkan gadis lebih kecil itu berlari agak jauh.

Tak ragu lagi kukejar bayangan yang sudah mulai jauh tertutup gundukan bukit, omonganya dan tempat keramatku menjadi semangatku berlari. Semua pengalamanku dalam mengejar anak-anak sekolah lain saat tawuran sangat berguna di tantangan ini, aku berlari secepat mungkin melewati gadis kenanganku. Perlu waktu sebentar untuk mendahuluinya, kulihat dia juga berlari sekuat tenaga dan meyakinkanku bahwa dia benar-benar ingin memiliki tempat itu.

“latihan seribu tahun lagi kalo mau ngalahin aku.” kuteriakan kataku saat berada disampingnya, kupercepat accelerasi berlariku mendahuluinya. Jalanan berkelok menurun tajam sebagai lintasan arenaku sepanjang empat kilometer membuatku malas mengikutinya, kuambil jalan pintas melewati semak-semak belukar yang memotong jalan berkelok itu. Kuloncati satu per satu batu yang menghalangi, tidak seperti dugaanku sebelumnya. Jalan pintas yang ku ambil terlalu curam dan terjal untuk dilewati manusia, ilalang-ilalang menjadi peganganku saat tumpuan kaki mulai terselip.

Akhirnya ujung jalan yang ditandai persimpangan menjadi tujuan perlombaan menggelikan ini, aku jauh berada di depan gadis mungil itu, sekitar 20 menit lagi dia baru bisa mendahuluiku jika dengan kecepatan larinya yang kulihat tadi. Kuterhenti mendadak melihat tingginya ujung jalan yang harus kulewati, aku tidak bisa jika melewati ini dengan lompatan. Tapi jika untuk berbalik kembali melewati jalan yang seharusnya, sudah terlalu jauh jalan salah kuambil.

Berharap dapat menuruni ujung jalan setinggi tiga puluh kaki, kuraih akar-akar pohon yang keluar dari permukaan tanah. Berpijak dari satu batu ke batu lainya membuat permainan ini menjadi semakin menarik walaupun aku tahu sudah pasti akulah pemenangnya. Tidak sabar dengan semua ini, aku loncati ujung jalan berharap tanah berumput belukar menjadi alasku mendarat.

“brukk,, akkKkHHH” aku mengerang saat kujatuhkan pijakanku ke belukar yang ternyata di bawahnya batu-batu kerikil.

“siiaAAllLL” teriaku menguling-gulingkan badanku menahan sakit pada kedua pergelangan kakiku. Kucoba berdiri melupakan rasa sakit di kakiku, tapi baru berjalan satu langkah aku langsung tersungkur ke tanah untuk kedua kalinya. Sakit di kakiku semakin menjadi-jadi, aku berserah dengan apa yang akan terjadi setelah ini. melihat perempatan jalan berjarak tiga ratus meter lagi yang juga menjadi garis finish taruhan ini membuatku lebih merasakan sakit.

“aku akan kehilangan tempat terbaiku selama disini, huh.” Sesalku di dalam hati. kuseret tubuhku mendekati batu besar di pinggir jalan dan kusandarkan badanku meresapi sakit yang menjulur sampai ujung jari jemariku. Keringat mengucur dari semua anggota badanku, bukan karena aku telah berlari menuruni bukit dengan cepatnya. Melainkan karena menahan sakit yang begitu parah, aku tidak bisa merasakan telapak kakiku untuk digerakkan.

Beberapa menit kemudian terlihat sosok wanita mungil berlari ke arahku, tak kuduga ia berlari begitu cepat. Tepat didepanku dia berhenti, nafasnya yang tersengal-sengal menghisap udara dengan cepatnya. Badan membungkuk dan kedua tanganya menopang badanya memperlihatkan dia tidak berhenti berlari selama hampir empat kilometer. Aku terheran melihat sikapnya, tanpa buah kata dia mencopot sepatuku seakan bahasa tubuhku yang sedari tadi menekan betis untuk mengurangi rasa sakitku.

“aaawww.” Kutahan teriakanku agar tidak memalukan diriku sendiri. Dia perlahan membuka kaos kaki berwarna putih berlambang centang, pergelangan kaki kananku terlihat tidak terlalu bermasalah tapi kaki kiriku memberikan tanda lain. Bengkak berwarna biru keunguan sangat besar timbul di siku pergelangan kakiku, besar bengkaknya hampir segenggam kepalan gadis kecil itu.

“aku akan coba kasih pertolongan pertama buat kaki kanan kamu, tahan sedikit sakitnya yah.” Perintahnya tanpa bertanya apakah aku menyetujuinya. Dan aku percaya kepada gadis ini, dia mendorong telapak kaki kananku ke arah betis. Kurebahkan diriku mengikuti perintah matanya, dengan sekuat tenaga dia mendorong telapak kakiku, diputar dan didorong lagi.

“gimana? Udah lebih enakan?” tanyanya mengkhawatirkan aku.

“hmm, iyah.” Jawabku memutar-mutarkan pergelangan kaki kananku. Rasa sakit tadi benar-benar sudah lenyap dari kaki kananku, mungkin sakit tadi hanya karena langsung kupaksakan diriku untuk bangun.

“gag papa kok Cuma kram biasa, tapi kalo kaki kirimu harus segera diobati tuh, kita gag tahu kenapa bisa sampe begitu.” Belum habis heranku melihat sentuhanya bisa menyembuhkan kaki kananku, aku hanya terdiam melihat gaya pahlawan yang diperlihatkan dari seorang gadis lucu berkuncir kuda. Kurasakan keringatnya menetes saat mendorong telapak kakiku, keringat penuh perjuangan melawanku.

“makasih ya.” Hanya dua kata itu yang bisa terucap dari mulutku, aku terlalu gugup sehingga tidak bisa mengeluarkan banyak kata terima kasih kepadanya.

“aku Cuma tahu sedikit tentang kok, sini aku bantu jalan. Kita cari bantuan buat nganter kamu ke rumah sakit terdekat.” Kukira dia hanya gadis pendiam tanpa tahu apa-apa, dibalik sikap dinginya padaku terlihat jelas jika dia mengkhawatirkan aku.

“sekali lagi makasih yah, kamu pantes untuk menang dari aku.” aku berjalan bersandar di bahu mungil gadis ini.

“hmm, gag juga. Sebenarnya aku yang kalah, aku kira semua perokok Cuma bisa duduk-duduk berbengong ria.” Sedikit bangga akan ucapanya dan mengingatkanku kembali dengan masa nakalku saat bersekolah.

“tapi pemenang tetap menjadi pemenang. Jadi kamu yang punya kuasa tempat itu sekarang.” Jelasku tak mau memecundangi diriku setelah kalah dan berdiripun harus dibantunya. Kata-kata yang kukeluarkan sepertinya tidak membuatnya senang, seharusnya dia senang akan kemenanganya. Dia menundukkan kepalanya membuatku semakin tidak mengerti apa yang dia mau, apa kata-kataku menyakiti hatinya.

“boleh aku berbagi tempat itu sama kamu?” dia menatap mataku berharap jawaban yang kuberi akan memuaskan dirinya. Senang sekali aku mendengar ucapanya, kujawab pertanyaan itu dengan senyum manisku. Mengerti dengan jawaban yang kuberi dia membalas senyumku tak kalah manisnya, aku yang masih merangkul dirinya membuat wajah kami berada sangat dekat. Tersipu akan semua kejadian itu, aku menolehkan wajahku ke aspal hitam berdebu dan dia pun begitu. Tertatih-tatih kami berdua berjalan menyusuri jalan kosong, kueratkan rangkulanku berharap dia mengerti aku menyukai dirinya.

1 Komentar:

Pada 17 Maret 2009 pukul 06.10 , Anonymous Anonim mengatakan...

Tanpa terasa dua jam setengah kujalani perjalanan dari kota kudus hingga ke ibu kota jawa tengah yaitu semarang.

eh, mana ada ibu kota jawa tengah itu semarang???
ibu kota indonesia cm satu, JAKARTA!
piye?
odooong!!!
hmm, ok lahhh..
gitu d pkk'a.
hehehe


-uchan-

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda