Jumat, 20 Februari 2009

the 3rd chapter of my novel

-singgasana-

Malam telah berganti pagi seiring bulan berganti matahari, kuselalu bersyukur di pagi cerah sperti ini aku masih bisa menghela nafasku dalam-dalam merasakan berkat yang Tuhan berikan padaku. Kugerakkan kedua tanganku keatas melakukan perenggangan tulangku yang masih kaku, sambil menguap aku duduk di baliho bamboo dan menyalakan sebatang rokok mild. Pikiranku melayang melihat daun menari-nari terkena sepoi angin dan menjatuhkan embunnya ke tanah cokelat basah karena kemarin hujan lebat mengguyur.

Disaat sendiri, diam dan merenung membuatku rindu sekali dengan keindahan kota semarang pada malam hari. Bukan hanya rindu dengan keindahan kelipnya lampu malam, aku juga rindu dengan seorang yang selalu duduk di singgasanaku dan menemaniku dengan secangkir kopi kalengannnya.

“ apa aku kangen dia?” aku berkata sendiri dan untuku sendiri. Kenangan bersamanya seakan terulang kembali di otaku, tanpa pikir panjang kuambil handuk lalu mandi untuk membersihkan diriku agar terlihat segar dari wajah lusuhku. Menyegarkan sekali mandi di pagi hari yang dingin, kuambil baju dinasku untuk ke kantor yang sudah lama aku tak mengecek perkembangnya. Mungkin alasanku sebenarnya bukan untuk mengecek bagaimana keadaan kantorku, ku hanya ingin duduk di singgasanaku mengenang semua ceritaku.

Disepanjang perjalananku ke semarang kudengaarkan lagu-lagu yang menguntai di radio, hamper semuanya di dominasi oleh lagu bernuansa melayu. Kupindahkan channel radio tetapi sia-sia, hamper semua lagunya juga bertema melayu dan band atau penyanyi yang sama pula, kuputar terus tombol untuk mengganti channel radio ku dan aku menemukan lagu yang lebih enak didengar daripada lagu sendu bernuansa melayu. Hingga akhirnya kumendengar lagu yang tak asing lagi bagiku.

A lonely road, crossed another cold state line

Miles away from those I love purpose hard to find

While I recall all the words you spoke to me

Can't help but wish that I was there

Back where I'd love to be, oh yeah

Dear God the only thing I ask of you is

to hold her when I'm not around,

when I'm much too far away

We all need that person who can be true to you

But I left her when I found her

And now I wish I'd stayed

’Cause I'm lonely and I'm tired

I'm missing you again oh no

Once again

There's nothing here for me on this barren road

There's no one here while the city sleeps

and all the shops are closed

Can't help but think of the times I've had with you

Pictures and some memories will have to help me through, oh yeah

Dear God the only thing I ask of you is

to hold her when I'm not around,

when I'm much too far away

We all need that person who can be true to you

I left her when I found her

And now I wish I'd stayed

’Cause I'm lonely and I'm tired

I'm missing you again oh no

Once again

Some search, never finding a way

Before long, they waste away

I found you, something told me to stay

I gave in, to selfish ways

And how I miss someone to hold

when hope begins to fade...

A lonely road, crossed another cold state line

Miles away from those I love purpose hard to find

Dear God the only thing I ask of you is

to hold her when I'm not around,

when I'm much too far away

We all need the person who can be true to you

I left her when I found her

And now I wish I'd stayed

’Cause I'm lonely and I'm tired

I'm missing you again oh no

Once again

-avenged sevenvold-

Entah kerasukan apa diriku hingga aku ikut menyanyikan kata per kata dari semua lyric lagu itu, mungkin lebih tepatnya aku berteriak-teriak daripada bernnyanyi karena suara dari radioku hanya speerti mengiringiku saja. Kurenungi disetiap kata pada lyric lagu ini mewakili akan setiap rasa hatiku saat ini. teringat semua kenangan dan waktu-waktu ku pandangi foto dirinya yang masih sengaja tidak kuhapus dari semua kameraku. Kutersenyum sendiri meingngat tingkahku jika sedang rindu dengan wanita bernama cintya, nama depan yang persis dengan nama ibuku membuat aku jarang memanggil namanya.

“tinnnn tinnnn” suara klakson mobil dan motor dibelakangku membuyarkan lamunanku, aku lupa kalau sedang berada di lampu merah yang sudah menjadi hijau. Pantas saja dengan sinis pengendara dibelakangku membunyikan klakson kendaraan mereka.

Tanpa terasa dua jam setengah kujalani perjalanan dari kota kudus hingga ke ibu kota jawa tengah yaitu semarang. Sudah banyak perbedaan yang kulihat dari kota sunyi ini, dimana-mana kendaraan merajalela tidak sperti sepuluh tahun silam ketika aku masih menimba ilmu perguruan tinggiku. Toko menjual ikan bandeng presto yang menjadi cirri khas makanan kota semarang sudah semakin semarak ditambah banyaknya toko lainya. Kantorku yang terletak di jalan pandanaran dekat sekali dengan simpang lima membuat banyak pengusaha-pengusaha mengincar kantor kecilku walaupun hanya untuk dijadikan lahan parkiran kendaraan yang datang ke toko mereka atau usaha mereka.

Kumasuki lahan parkir kantor kecilku, terlihat dua mobil dinas yang sengaja kuberikan kepada karyawan kepercayaanku untuk mengelolanya. Satpam merangkap menjadi juru parkir langsung menyapku ketika kubuka kaca mobil dan melambaikan tangan kepadanya.

“selamat siang pak.” Suara lantang dan keras bagaikan aku adalah seorang komandan perang yang siap memberi perintah untuk menyerbu lawanya.

“siang mas hadi. Gimana kabar anak-anak?” setelah kuparkirkan kendaraan kesayanganku di tempat teduh dan nyaman, dan kusapa orang yang sudah lama kukenal sejak aku masih menjadi mahasiswa. Terlihat wajah yang menjadi hitam legam karena teriknya matahari memperlihatkan betapa disiplin dia menjalani pekerjaanya. Sudah lama aku ingin mempunyai sikap mas hadi, dia begitu bertanggung jawab akan tugasnya, dan diapun benar-benar bertanggung jawab kepada kelima anaknya. Dan usaha mas hadi dibayar dengan sukses anak-anaknya yang tiga diantaranya mendapatkan beasiswa dan bisa menimba ilmu di perguruan tinggi negeri paling hebat di negara ini.

“baik-baik pak. Sudah lama tidak kesini?”

“iyah, saya punya banyak urusan diluar. Oke, saya masuk dulu mas.” Kuakhiri perbincangan singkatku melihat banyaknya kendaraan yang masih ingin parkir dan sangat membutuhkan bantuannya. Sudah lama juga ku tidak kekantorku sendiri, paling-paling jika hanya ada urusan begitu darurat baru aku mau ke kantor yang dimodali semua oleh orang tuaku.

Kumasuki loby dan melihat recepsionist muda, dan menyapaku juga.

“ada perlu apa pak?” hei, kukira dia ingin menyapaku tetapi dia malah menanyakan mengapa aku berdiri disini. Seharusnya aku tidak kaget dengan sikap recepsionist baru ini, karena memang aku tidak pernah berada di kantor dalam jangka waktu tiga tahun lamanya.

“kamu karyawan baru yah?” tanyaku serasa sangat berkuasa. Kukeluarkan kartu namaku disana bertuliskan namaku, nomor telepon dan pekerjaanku yang disana juga tertulis dimana aku mempunyai kantorku. Kuberikan kartu putih berfont arial hitam dan garis kuning emas di bagian pinggir kartu namaku.

“ohh, maaf pak gilang. Saya benar-benar tidak tahu.” Wanita muda itu membungkukan badanya sembari menyerahkan kartu namaku lagi.

“tidak masalah.” Sahutku mengambil kartu namaku lagi karena aku memang jarang membawa banyak kartu nama di dompetku. Sebenarnya aku kurang begitu suka dengan caraku memperlakukan bawahanku sperti itu, tapi memang sudah seharusnya kulakukan agar aku mempunyai wibawa sebagai petinggi di kantorku sendiri.

“noel” kusapa bawahan kepercayaanku yang dulu juga menjadi adik kelas semasa kuliahku, noel adalah orang yang sangat rajin di kelas semester pendek dahulu. Aku selalu menitipkan absensi kepadanya jika aku harus tidak masuk karena punya janji dengan dokter untuk chek up. Yah, dia juga salah seorang yang tahu keadaanku dan mengapa aku mengasingkan diriku sendiri jauh keperkebunan tembakau.

“gilang. Gimana kabarmu?” tanyanya meninggalkan pekerjaan yang terlhat menumpuk di meja kerjanya. Wajahnya terlihat khawatir karena kurang lebih sudah tiga tahun lamanya aku tidak menginjakkan kakiku di semarang.

“yah, aku gag bisa jawab wel.” Jelasku mendesah.

“sudahlah santai saja, serahkan semua sama aku.” terlihat dia benar-benar mengkhawatirkan aku. jika umurnya sudah pas untuk membuka kantor notaries sendiri kurasa sudah dilaksanaknya, umur yang masih muda dan kurangnya biaya membuatnya menyurutkan niatnya.

Lalu Kami berbincang-bincang banyak tentang urusan kantor sampai urusan pribadi kami. Ternyata orang yang dulu selalu menundukkan wajahnya dan berkata terbata-bata jika didekati perempuan kini sudah mempunyai wanita yang akan dijadikanya sebagai belahan hidupnya. Dan akupun bercerita tentang sely dimana pertemuan paling mengejutkan dalam hidupku. Kami bercerita banyak sekali entah bagaimana awalnya hingga kami larut dalam dunia obrolan layaknya seorang sahabat mencurahkan hatinya satu sama lain.

Hujan bergemuruh tidak menyurutkan semangat kami bercerita tentang keadaan kami, walaupun waktu di jam dinding menunjukkan pukul lima dimana para karyawan kami berpamitan untuk pulang ke rumah kediamanya masing-masing. Hujan yang begitu deras membuat sebagian karyawan berteduh pada bagian kantor yang tertutupi kanopi besar.

“nit nit niiiitt” suara handphone di kantong noel berbunyi. Dia mengeluarkan ponsel dan seperti membaca pesan singkat yang baru saja terkirim ke ponselnya. Aku sudah tahu saat seperti inilah yang akan memisahkan obrolan panjang kami karena waktu dan cuaca juga sudah menyerah mencobai kami. Kupersilahkan dia untuk pergi lebih dahulu sebelum dia memintaku untuk berpamitan. Bukan hanya dunia tetapi setiap orang juga bisa berubah, kuambil hikmah dari obrolanku bersama noel baru saja.

*

“gruuukk.” Jelas sekali suara itu bukan dari ponselku melainkan dari dalam perutku yang sedari tadi merengek diberikan sejumlah gizi baik kedalamnya. Kuberjalan melewati simpang lima yang dekat sekali dengan kantorku dan berhenti sejenak melihat apakah ada makanan lezat yang dapat menghentikkan perang di perutku. Kuhentikan langkahku di tenda bertuliskan kucingan, makanan tidak bergisi hanya berisi nasi beberapa sendok dan lauk apa adanya adalah tujuan akhirku. Hampir setiap aku kehabisan uang bulanan yang dikirimkan orang tua, aku pasti menikmati makan malam ku di tenda kucingan seperti ini.

Sebenarnya makanan sperti ini jelas tidak mengenyangkan tetapi jika empat bungkus ditambah gorengan dan segelas es teh manis benar-benar ampuh mendamaikan perut laparku. Kusulut rokok mild ku dan melihati mobil-mobil berlalu lalang, simpang lima mempunyai banyak pilihan makanan nikmat di setiap pinggirnya, tapi aku lebih rindu dengan suasana ini. setelah beberapa waktu kukuasi tempat duduk yang seharusnya diganti oleh banyak anak muda lainya untuk mencicipi masakan yang sudah pasti untuk menghemat pengeluaran mereka, kubayar beberapa lembar uang ribuan yang menggumpal di kantong celanaku.

Kubanting setir mobilku mengingat tujuan sebenarnya aku ke semarang, aku ingin sekali melihat singgasanaku yang selalu kubagi dengan wanita terindah dalam hidupku. Kulalui jalan menanjak menuju tempat itu, pembangunan benar-benar membuatku terkejut, rumah-rumah mewah berdiri kokoh di kanan dan kiri jalan. Seharusnya mobilku hanya dapat melaju hingga ke rumah-rumah ini, tapi jalan aspal terlihat masih baru membuatku lebih mudah untuk mencapai tempat tujuanku.

“hey, hey” kuberteriak sendiri melihat pagar besi besar menutupi jalan sekitar dan yang lebih mengangetkanku adalah tulisan besar menempel dipagar bertuliskan

“ Dilarang Masuk Milik Pribadi “

Jalan curam dan jauhnya dari pusat kota dan lebih lagi adalah suasana yang hanya dapat melihat bintang tak mungkin membuat pengusaha mempunyai minat untuk merelakan uang mereka membeli tanah seperti ini. kuhentikan mobilku tepat di depan pagar setinggi dua meter, tak ingin memusingkan apa yang sedang menghalangiku, kuloncati pagar dengan satu loncatan sekuat tenagaku.

“uhh.” Kutahan getaran kaki saat sampai ke pijakan tanah basah stelah loncat dari ketinggian pagar besi berkarat itu. Ternyata kejahatan semasa smaku dapat diperlukan juga, kumenyeringai bangga dengan semua kenakalanku pada waktu sma dahulu yang selalu meninggalkan pelajaran dan kabur dengan cara sama seperti kuloncati pagar besi ini. kutepukkan kedua telapak tanganku membersihkan karat dan cat yang mengelupas begitu kucengkram batang mistarnya, kuberjalan menyusuri jalan setapak menuju puncak dari bukit yang ditandai oleh batu besar. Pernah dahulu kukira hampir saja hilang nyawaku begitu bangun dari tempatku duduk dan kehilangan keseimbangan hingga aku harus berpegangan pada ilalang karena batu besar itu terletak di tebing curam.

Akhirnya aku dapat menikmati lagi semua kenangan ku disini. Perasaaanku tak menentu melihat bulan penuh begitu terang dan membentuk bulatan seperti aurora disekelilingnya. walaupun jutaan bintang tak ikut serta menghiasi indahnya bulan malam ini, kurasa sudah cukup indahnya panorama malam ini tuk sekedar mengobati rasa rinduku. Rasa yang sudah terpendam selama bertahun-tahun dan diriku butuh melampiaskanya pada semua pemandangn luar biasa.

“terima kasih Tuhan, Kau masih memberikanku banyak waktu menikmati kesemuanya ini.” setengah berbisik kupanjatkan doa syukurku masih bisa menikmati semua ciptaan-NYa.

*

Tak biasanya aku bisa bangun pagi, kulihat jam yang masih menempel pada lengan kiriku dan menunjukkan pukul 7 pagi. Mungkin dengan pengobatan rinduku kemarin bisa membuat tidur ku benar-benar pulas, biasanya jika pagi ini aku sudah terjaga semua otot di badanku masih mengeras. Kubuka pintu menuju beranda hotel yang mempelihatkan keindahan alam juga, tapi aku kurang tertarik pada panorama siang hari. Aku lebih suka melihat perpaduan kelipnya lampu malam dimana jutaan bintang dan terangnya bulan purnama menjadi inti sebuah pemandangan.

Kurogoh kantung celana bahanku mengambil pemantik dan sebungkus batangan tembakau untuk menemaniku masuk ke dalam dunia fana. Disetiap pagi aku memang selalu membayangkan bagaimana jika aku sudah bersama Tuhanku di sorga, aku juga tak pernah lupa akan setiap kasihNya memberikan ku nafas kehidupan sampai saat ini, akupun masih bisa merasakan emmbun yang berjatuhan di tanganku. Mungkin karena semua rasa syukurku ini aku diberikan kesempatan untuk mengubah semua nila di hidupku.

” Baptized in the river.I've seen a vision of my life.And I wanna be delivered.In the city was a sinner.I've done a lot of things wrong.But I swear I'm a believer.Like the prodigal son.I was out on my own.Now I'm trying to find my way back home.Baptized in the river.I'm delivered.I'm delivered.” Penggalan reff dari lagu grup band good charlotte berjudul the river yang menjadi nada dering ponsel ku, membuyarkan lamunanku. Kuambil ponsel dari tas kulit poloku dan melihat nama yang tertera di layar ponsel ku.

“ayah?” tanyaku dalam hati, jarang sekali dia menelponku jika tidak mempunyai urusan penting dan itupun juga urusan kerja dimana kantorku bisa menjadi partner untuk bekerja sama.

“halo yah?” kuangkat dan kusapa ayahku dengan semangat, meskipun hawa dingin merasukiku.

“halo nak, kamu dimana?” ayahku bertanya dengan cepat. Tapi, hei, bukankah sudah lama kita tidak bertemu? Bukankah seharusnya dia bertanya kabarku bagaimana?.

“aku disemarang sekarang. Ada apa yah?” aku lebih khawatir karena dia tidak menanyakan kabarku.

“oh gapapa, sekarang ayah sama mama lagi di rumah kamu. Tapi kamunya malah gag ada.” Jelas ayahku. Sekejap rasa khawatirku hilang mendengar penjelasannya, kukira ada sesuatu yang lebih mengagetkan aku tadinya. Dan tumben seorang mamaku tidak memberikan kabar jika ingin bertemu denganku, seminggu sekali dia pasti menanyakan kabarku melalui telepon dan juga sms.

”mau ngapain disana? Kok gag bilang-bilang dulu.” Tanyaku sedikit kecewa karena aku juga sudah kangen dengan mereka.

“ayah punya klien di pabrik dekat rumah kamu itu loh, jadi sekalian mampir.” Jawabnya. Ayahku adalah pengacara yang cukup terkenal di para pengusaha. Dia begitu hebat walaupun kadang-kadang pikiranya sangat kolot. Tapi semua terbukti dengan usaha kerasnya dia benar dalam setiap katanya, tapi tidak dalam seiap perasaan.

“yasudah kamu urus dulu pekerjaan kamu disana, nanti sore ayah sudah harus pulang ke Jakarta.” Belum sempat ku mengeluarkan kata-kata dia menyudahi pembicaraan kami dengan nada bicara sangat bijaksana seakan mengerti apa yang sedang aku lakukan disini. Mungkin pekerjaanya masih menunggu untuk diselesaikan, tapi jelas dari kalimatnya dia hanya ingin tahu dimana aku berada. entah mengapa aku bisa berpikir begitu, kurasa jiwa analisis ayahku turun dalam genku sehingga aku bisa berpikir seperti itu.

“oke yah, hati-hati di jalan.” Kuakhiri dan kututup telpon yang mengkomunikasikan aku dengan ayahku. Aku memang tidak terlalu suka berlama-lama mengenggam telpon, terlalu membosankan jika hanya untuk menghabiskan waktu. Tidak seperti anak muda sekarang yang selalu menghabiskan uang sakunya untuk membeli pulsa, dan menghabiskannya berlama-lama menelpon teman atau pacarnya. Lagipula setelah membaca buku tentang bahaya signal bagi tubuh menguatkan doktrin itu pada pikiranku.

Lama berselang waktu berjalan kuisi hanya berada di beranda kamar hotel berpredikat bintang tiga ini. aku terlena dengan angin sepoi menyilir perlahan di belakang kupingku, membuat segalanya menjadi nyaman. Tapi matahari tidak menghiraukan diriku yang masih menikmati basahnya embun di ujung dedaunan. Dengan terik panasnya dia memaksaku menyelesaikan semuanya,seaakan matahari itu berkata kepadaku “enyahlah kau dari hadapanku.” yah inilah salah satu alasan mengapa aku tidak terlalu suka menikmati keindahan alam di pagi dan siang hari. Apalagi jika sudah mendengar suara klakson dan knalpot kendaraan yang begitu ramai, benar-benar bisa membuyarkan kenikmatan yang diberikan alam kepadaku.

Kukumpulkan sisa-sisa tenaga untuk membangkitkan tubuku yang sudah berposisi enak bersandar di kursi. Tidak tahu karena sakit yang kuderita atau aku memang malas rasanya setiap bangun pagi aku selalu dihinggapi rasa capek yang berlebihan di pundakku. Kumasuki ruangan sebesar dua puluh lima meter persegi yang bernuansa kejawaan, disetiap pintu kamar dan kusen jendela berukir bunga-bunga teratai mengembang.

“ting tong” suara bel kamarku berbunyi, kutahan diriku yang baru saja ingin membanting tubuhku ke kasur.

“yah?” kubuka pintu kamarku melihat room servicer berdiri membawa pakaian setelan kemejaku berbalut plastic.

“kemejanya sudah selesai di cuci pak.” Kata room servicer menyerahkan pakaian berbau harum.

“oh iya, terima kasih ya pak.” Jawabku sembari menerima benda yang hanya satu-satunya kubawa dari rumahku. Setelah bernostalgia semalaman membuat bajuku lusuh, biasanya aku tidak perduli dengan penampilanku. Tapi nanti sore aku punya janji dengan noel untuk makan malam bersama kekasih hatinya. Pelayan kamar itu masih berdiri menantikan sesuatu dariku, hampir saja aku lupa akan sesuatu yang memang sudah seharusnya kuberikan pada pelayanan terbaik.

Kuberikan selembar uang sepuluh ribu bergambar sultan mahmudi baharudin II dan memberikkanya kepada pelayan kamar. Kuucapkan terima kasihku lagi kepada pelayan tua berjenggot panjang, sekilas aku melihatnya seperti pentolan grup band ternama yang aku lumayan kagumi musikalitasnya.

Tak kupedulikan pakaian setelan harumku menahan pegalnya pundak sampai punggung, kumasuki setelanku sembarangan membuat suara gemerisik karena plastic yang menutupinya bergesek. Tanpa banyak berpikir lagi, kuloncati tempat tidur bertinggi sekitar lututku dan menjatuhkan badanku layaknya mainan. Mataku seakan menuruti semua perintah capekku dan langsung menutup kelopaknya untuk memasuki ruang bawah sadarku.

*

Tepat jam dua siang tidak kurang tidak lebih aku terbangun dari mimpiku, suara bising alarm berasal dari ponsel genggamku segera kumatikan. Suasana siang ini jauh berbeda dengan pagi cerah bermentari terik, terlihat dari jendela kamarku langit menampakkan gerombolan awan berlarian. Sinar matahari terlihat seperti jalan menuju langit bagi para malaikat yang berada dibumi saat menembus celah diantara rengangan awan. Anginyapun ikut berubah drastis, kuingat tadi pagi aku masih bisa merasakan semilir udara melewati belakang kupingku, merasuki ku dengan lembut sentuhannya. sekarang bagaikan kipas angin berdouble blower angin itu mengacak-ngacak rambut ikal sebahuku.

Tanpa memikirkan apa yang akan langit berikan ke dunia, aku membasuh wajahku di wastafel cokelat terbuat dari kayu. Kulihat wajahku dari kaca yang tertempel tepat di atas wastafel, dandanan rambut sebahu ini sudah tidak cocok bagiku di usia tiga puluh tahun ini. kuniatkan diriku untuk memotong rambut gondrong selama kuliah sampai sekarang kubiarkan tetap sama agar terlihat lebih rapih dan sedikit tampak dewasa. Tujuanku tidak mengubah gaya dandananku memang kusengaja, karena aku harap suatu hari nanti aku bisa bertemu dengan cintya dan dia masih mengenaliku seperti pertama kali kubertemu dengannya.

Sudah banyak nasihat diberikan orang tuaku untuk memotong gaya rambutku,dengan segala daya dan upaya kuperjuangkan berambut seperti ini. jelas yang akan kulakukan merupakan bentuk dari keputus asaan diriku selama beberapa tahun tidak pernah sekalipun berjumpa ataupun mendengar kabar dari cintya. Terakhir kudengar dia sudah menjadi wanita hebat yang bisa melebarkan usaha warisanya lebih baik daripada orang tuanya. Aku paham betul mengapa itu semua bisa terjadi, pikiran mau mengambil resiko dengan perbandingan kecil berani dia taruhkan untuk mendapatkan apa yang di inginkannya.

Aku ingat saat dia dan aku bertaruh lari menuruni bukit untuk mendapatkan tempat singgasana batuku di puncak bukit yang sekarang aku tidak tahu siapa yang telah membeli bukit kenanganku.

“ini kan bukan bukit punya kamu, jadi aku juga berhak dong duduk disini.” Itulah jawaban egois saat dulu aku mengusir pergi dirinya karena berulang kali kutemukan dia menguasai singgasanaku.

apa-apaan nih, aku pertama kali yang nemuin tempat ini.” sergahku tidak mau kalah.

“ ya udah, kita taruhan ajah, siapa yang menang dapet tempat ini.”

“okeh, apa taruhannya?” jawab ku terasa tertantang.

“hmm, kita lari ke bawah buikt, yang lebih dulu sampai dia yang menang.” Sambil berkacak pinggang dia melontarkan taruhannya.

“Hei, aku cowok apa tantanganya gag salah?” merasa tersindir kutanya lagi apa dia yakin untuk melakukan taruhan tiu.

“maaf yah, aku gag akan kalah sama orang perokok akut kayak kamu. Aku pasti menang kalo Cuma lawan kamu aja.” Kata-katanya langsung membaut emosiku naik, aku selalu sensi jika seseorang menegurku tentang kebiasaan jelek merokokku.

“gag usah banyak ngomong lagi, kapan taruhanya?” tanyaku sudah tidak sabar untuk membungkam mulut gadis kecil ini.

“hmm, dari seKARANGGG!!” dia berlari mencuri start. Aku tersenyum sebentar melihat tingkahnya, layaknya lelaki sebenarnya kubiarkan gadis lebih kecil itu berlari agak jauh.

Tak ragu lagi kukejar bayangan yang sudah mulai jauh tertutup gundukan bukit, omonganya dan tempat keramatku menjadi semangatku berlari. Semua pengalamanku dalam mengejar anak-anak sekolah lain saat tawuran sangat berguna di tantangan ini, aku berlari secepat mungkin melewati gadis kenanganku. Perlu waktu sebentar untuk mendahuluinya, kulihat dia juga berlari sekuat tenaga dan meyakinkanku bahwa dia benar-benar ingin memiliki tempat itu.

“latihan seribu tahun lagi kalo mau ngalahin aku.” kuteriakan kataku saat berada disampingnya, kupercepat accelerasi berlariku mendahuluinya. Jalanan berkelok menurun tajam sebagai lintasan arenaku sepanjang empat kilometer membuatku malas mengikutinya, kuambil jalan pintas melewati semak-semak belukar yang memotong jalan berkelok itu. Kuloncati satu per satu batu yang menghalangi, tidak seperti dugaanku sebelumnya. Jalan pintas yang ku ambil terlalu curam dan terjal untuk dilewati manusia, ilalang-ilalang menjadi peganganku saat tumpuan kaki mulai terselip.

Akhirnya ujung jalan yang ditandai persimpangan menjadi tujuan perlombaan menggelikan ini, aku jauh berada di depan gadis mungil itu, sekitar 20 menit lagi dia baru bisa mendahuluiku jika dengan kecepatan larinya yang kulihat tadi. Kuterhenti mendadak melihat tingginya ujung jalan yang harus kulewati, aku tidak bisa jika melewati ini dengan lompatan. Tapi jika untuk berbalik kembali melewati jalan yang seharusnya, sudah terlalu jauh jalan salah kuambil.

Berharap dapat menuruni ujung jalan setinggi tiga puluh kaki, kuraih akar-akar pohon yang keluar dari permukaan tanah. Berpijak dari satu batu ke batu lainya membuat permainan ini menjadi semakin menarik walaupun aku tahu sudah pasti akulah pemenangnya. Tidak sabar dengan semua ini, aku loncati ujung jalan berharap tanah berumput belukar menjadi alasku mendarat.

“brukk,, akkKkHHH” aku mengerang saat kujatuhkan pijakanku ke belukar yang ternyata di bawahnya batu-batu kerikil.

“siiaAAllLL” teriaku menguling-gulingkan badanku menahan sakit pada kedua pergelangan kakiku. Kucoba berdiri melupakan rasa sakit di kakiku, tapi baru berjalan satu langkah aku langsung tersungkur ke tanah untuk kedua kalinya. Sakit di kakiku semakin menjadi-jadi, aku berserah dengan apa yang akan terjadi setelah ini. melihat perempatan jalan berjarak tiga ratus meter lagi yang juga menjadi garis finish taruhan ini membuatku lebih merasakan sakit.

“aku akan kehilangan tempat terbaiku selama disini, huh.” Sesalku di dalam hati. kuseret tubuhku mendekati batu besar di pinggir jalan dan kusandarkan badanku meresapi sakit yang menjulur sampai ujung jari jemariku. Keringat mengucur dari semua anggota badanku, bukan karena aku telah berlari menuruni bukit dengan cepatnya. Melainkan karena menahan sakit yang begitu parah, aku tidak bisa merasakan telapak kakiku untuk digerakkan.

Beberapa menit kemudian terlihat sosok wanita mungil berlari ke arahku, tak kuduga ia berlari begitu cepat. Tepat didepanku dia berhenti, nafasnya yang tersengal-sengal menghisap udara dengan cepatnya. Badan membungkuk dan kedua tanganya menopang badanya memperlihatkan dia tidak berhenti berlari selama hampir empat kilometer. Aku terheran melihat sikapnya, tanpa buah kata dia mencopot sepatuku seakan bahasa tubuhku yang sedari tadi menekan betis untuk mengurangi rasa sakitku.

“aaawww.” Kutahan teriakanku agar tidak memalukan diriku sendiri. Dia perlahan membuka kaos kaki berwarna putih berlambang centang, pergelangan kaki kananku terlihat tidak terlalu bermasalah tapi kaki kiriku memberikan tanda lain. Bengkak berwarna biru keunguan sangat besar timbul di siku pergelangan kakiku, besar bengkaknya hampir segenggam kepalan gadis kecil itu.

“aku akan coba kasih pertolongan pertama buat kaki kanan kamu, tahan sedikit sakitnya yah.” Perintahnya tanpa bertanya apakah aku menyetujuinya. Dan aku percaya kepada gadis ini, dia mendorong telapak kaki kananku ke arah betis. Kurebahkan diriku mengikuti perintah matanya, dengan sekuat tenaga dia mendorong telapak kakiku, diputar dan didorong lagi.

“gimana? Udah lebih enakan?” tanyanya mengkhawatirkan aku.

“hmm, iyah.” Jawabku memutar-mutarkan pergelangan kaki kananku. Rasa sakit tadi benar-benar sudah lenyap dari kaki kananku, mungkin sakit tadi hanya karena langsung kupaksakan diriku untuk bangun.

“gag papa kok Cuma kram biasa, tapi kalo kaki kirimu harus segera diobati tuh, kita gag tahu kenapa bisa sampe begitu.” Belum habis heranku melihat sentuhanya bisa menyembuhkan kaki kananku, aku hanya terdiam melihat gaya pahlawan yang diperlihatkan dari seorang gadis lucu berkuncir kuda. Kurasakan keringatnya menetes saat mendorong telapak kakiku, keringat penuh perjuangan melawanku.

“makasih ya.” Hanya dua kata itu yang bisa terucap dari mulutku, aku terlalu gugup sehingga tidak bisa mengeluarkan banyak kata terima kasih kepadanya.

“aku Cuma tahu sedikit tentang kok, sini aku bantu jalan. Kita cari bantuan buat nganter kamu ke rumah sakit terdekat.” Kukira dia hanya gadis pendiam tanpa tahu apa-apa, dibalik sikap dinginya padaku terlihat jelas jika dia mengkhawatirkan aku.

“sekali lagi makasih yah, kamu pantes untuk menang dari aku.” aku berjalan bersandar di bahu mungil gadis ini.

“hmm, gag juga. Sebenarnya aku yang kalah, aku kira semua perokok Cuma bisa duduk-duduk berbengong ria.” Sedikit bangga akan ucapanya dan mengingatkanku kembali dengan masa nakalku saat bersekolah.

“tapi pemenang tetap menjadi pemenang. Jadi kamu yang punya kuasa tempat itu sekarang.” Jelasku tak mau memecundangi diriku setelah kalah dan berdiripun harus dibantunya. Kata-kata yang kukeluarkan sepertinya tidak membuatnya senang, seharusnya dia senang akan kemenanganya. Dia menundukkan kepalanya membuatku semakin tidak mengerti apa yang dia mau, apa kata-kataku menyakiti hatinya.

“boleh aku berbagi tempat itu sama kamu?” dia menatap mataku berharap jawaban yang kuberi akan memuaskan dirinya. Senang sekali aku mendengar ucapanya, kujawab pertanyaan itu dengan senyum manisku. Mengerti dengan jawaban yang kuberi dia membalas senyumku tak kalah manisnya, aku yang masih merangkul dirinya membuat wajah kami berada sangat dekat. Tersipu akan semua kejadian itu, aku menolehkan wajahku ke aspal hitam berdebu dan dia pun begitu. Tertatih-tatih kami berdua berjalan menyusuri jalan kosong, kueratkan rangkulanku berharap dia mengerti aku menyukai dirinya.

Kamis, 12 Februari 2009

this is my 2nd chapter of my novel ( i call you, Love)

-love without life-

Tepat 5 tahun lamanya setelah kejadian dimana aku melepas wanita terindah dalam kehidupanku. kujalani beberapa tahun ini sebagai siksaan karena banyak hal-hal yang tak kuduga datang kepadaku. Aku bukan hanya menjalani terapi seminggu sekali dan meminum obat bermacam-macam tetapi penyakit ini sepertinya sudah serius menggerogoti kekebalan pada tubuhku. Aku bisa benar-benar sembuh dari luka gores terkena pisau setelah 6 bulan lamanya. Aku tersiksa dengan semua ini. 10 tahun mengidap penyakit ini mulai terasa gejala-gejala yang timbul di dalam diriku. Mendengar kedua temanku yang sudah meninggalkan dunia juga mempengaruhiku untuk berhenti melakukan terapi dan minum obat yang disarankan dokter kepadaku.

Awal November menjadi bulan keramatku untuk pergantian tahun,bagiku November adalah tahun baru sekaligus lembaran baru. Tidak seperti orang lainya yang sangat mengidolakan bulan januari sebagai bulan dimana semua orang ingin mengawali kehidupan dengan lebih baik. Kuberjalan menyusuri jalan setapak menuruni bukit dari rumah yang sengaja dibelikan orang tuaku.

“siall” teriakku melihat ular sejenis pyton melintas didepanku. Yah, aku memang sering melihat ular yang mempunyai kepala sebesar genggamanku berkeliaran di bukit yang dipenuhi semak belukar. Ular itu bisa saja membunuhku dengan belitankuatnya, yah tapi aku tidak takut untuk mati, malah aku sudah memepersiapkan kematian itu. Aku sudah memperingtkan beberapa kali kepada penjaga rumah ku tentang adanya ular sebesar itu di belakang bukit ini, tetapi dengan tertawa terkekeh-kekeh dia malah mengira bahwa aku sedang berhalusinasi atau jikalupun benar itu mungkin adalah ular jadi-jadian Mbah Tirto yang sudah beberapa tahun menghilang dan dikabarkan sedang menjalani ritual untuk mendalami ilmu gelapnya.

“kemarin kulihat ular itu memakan musang besar, mungkin tahun kemarin Mbah tirto. Untuk 6 bulan ke depan aku aman”pikirku jahat.

Setelah menempuh 15 menit berjalan aku sampai pada kedai kopi Mas jay, kupikir dia memang mempunyai nama sekeren itu walaupun di daerah yang sangat terisolasi dari dunia luar ini. tetapi saat kutanya padanya tentang namanya ternyata nama aslinya adalah zaynudin, dan mengganti namanya untuk membuat kedai kopi lebih terkenal dari pada kedai-kedai lain.

“kopi mocca,le?” tanya mas jay kepadaku yang baru saja duduk dan menghela napas panjang karena jalan yang cukup sulit kulalui. Dia selalu memanggilku tole karena dia ingin anaknya lelakinya tumbuh besar seperti aku. yah, walaupun dia tidak tahu kondisiku tapi aku bangga dengan ucapanya.

“sippp, jangan ditambahin gula lagi ya mas.” Jawabku ke mas jay masih dengan napas tersenggal-senggal. Jika saja aku lupa memberitahukan mas jay tentang gula yang selalu dia tambahkan di kopiku, aku rasa beberapa tahun lagi diabetes lah penyakit utamaku.

“kok tumben sepi mas? Yang lain pada kemana?” tanyaku heran dengan kesunyian yang biasanya dipenuhi oleh para pekerja pemetik tembakau untuk sekedar merokok dan meneguk secangkir kopi hangat racikan mas jay.

“katanya ada bos baru di pabrik mereka, jadi biasalah mereka mencari muka sama bos baru mereka.” Jelas mas jay tanpa rasa dosa.

“katanya bos baru mereka cewek masih muda trus cantik lagi, jarang-jarang kan liat cewek cantik di perkebunan ini.” lanjut mas jay yang dibarengi cubitan istrinya karena istrinya merupakan bunga desa di perkebunan ini.

“ohh” desahku tanpa ingin tahu lebih jelas tentang wanita seperti apa yang membuat para pekerja honorer itu menjadi sangat rajin beda dari biasanya. Seperti biasa kusulut rokok mild yang aku ambil sendiri di etalase kecil mas jay, suasan hening membuatku bosan tapi alunan lagu dari radio perlahan merasukiku.

Where did we come from?

Why are we here?

Where do we go when we die?

What lies beyond

And what lay before?

Is anything certain in life?

They say, "life is too short,"

"the here and the now"

And "you're only given one shot"

But could there be more,

Have i lived before,

Or could this be all that we've got?

If i die tomorrow

I'd be allright

Because i believe

That after we're gone

The spirit carries on

I used to be frightened of dying

I used to think death was the end

But that was before

I'm not scared anymore

I know that my soul will transcend

I may never find all the answers

I may never understand why

I may never prove

What i know to be true

But i know that i still have to try

If i die tomorrow

I'd be allright

Because i believe

That after we're gone

The spirit carries on

"move on, be brave

Don't weep at my grave

Because i am no longer here

But please never let

Your memory of me disappear"

Safe in the light that surrounds me

Free of the fear and the pain

My questioning mind

Has helped me to find

The meaning in my life again

Victoria's real

I finally feel

At peace with the girl in my dreams

And now that i'm here

It's perfectly clear

I found out what all of this means

If i die tomorrow

I'd be allright

Because i believe

That after we're gone

The spirit carries on

Kutelaah lyric per lyric dari setiap bait yang mengalun indah. Sedikit sesal hatiku baru tahu jika ada lagu seindah ini dan belum pernah aku dengarkan. Kuhisap batangan rokok dalam-dalam, menghembuskan asapnya pelan dan kupejamkan mataku. Entah semangat apa yang merasukiku, tapi setelah mendengar lagu tadi membuatku merasa sangat nyaman.

Setelah meneguk kopi mocca hangat dan menghabiskan beberapa batang rokok mild, kumeninggalkan kedai kopi dengan hutang karena memang aku biasa mentotal hutangku pada mas jay sebulan sekali. Kulewati rute lain untuk jalan ke rumahku, kejadian melihat ular besar masih terngiang diotakku. Kupikir lebih baik aku mati dirumah sakit atau tempat tidur yang diselimuti bedcover hangat daripada harus mati didalam perut ular yang dikira adalah ular jadi-jadian itu.

Jalan menanjak ke arah rumah ku memang sangat curam tapi aku senang mendapatkan rumah ini. bukan hanya letaknya strategis jauh dari kebisingan pabrik rokok tetapi aku bisa melihat taburan bintang dilangit hanya dengan membuka pintu rumahku. Dan sisetiap pagi aku selalu disambut oleh hangatnya matahari dan sejuknya embun, terlebih lagi aku sangat suka udara bersih yang membawa aroma air.

“good home for good person,haha” tawaku dalam hati.

Kupandang langit tidak berawan tapi tertutup kabut yang mulai turun menuruni setiap gundukan bukit tembakau. Harum yang sudah lama kurindukan, harum udara berisi air yang tertiup angin sepoi-sepoi dan membuat embun direrumputan. Kubuka sandalku yang sudah mulai cokelat warnanya, kurasakan embun yang menempel di antara jemari kakiku. Kuambil beberapa bunga liar berwarna kuning pucat dan kualirkan pada air selokan seperti anak-anak kecil yang berlomba setelah membuat kapal-kapalan kertas, membuangya ke selokan dan berlarian untuk mengetahui kapal siapa yang akan lebih dulu mencapai ujung selokan. Aku sangat merindukan ini. sangat rindu.

*

Matahari membangunkanku dengan sinarnya, aku lupa untuk menutup tirai jendela kamarku yang memang harus kulakukan jika aku ingin berada di alam mimpi untuk waktu yang lama. Kulihat jam masih menunjukkan pukul 7 pagi.

“aku benar-benar tertidur pulas” pikirku karena setelah pulang dari kedai mas jay aku langsung masuk ke dalam dunia mimpiku. Kututup tirai jendelaku dan kumatikan lampu yang dari semalam masih menyala karena aku lupa mematikan nya. Kubanting diriku yang masih setengah terjaga ke tempat tidur bermotif bunga-bunga abstrak berwarna kebiruan dan kutatap langi-langit kamarku yang menyala kehijauan karena sengaja kuberikan hiasan-hiasan kecil terbuat dari fosfor.

Baru sesaat aku ingin ke dunia mimpiku ada seseorang yang mengetuk pintu kamarku.

“den, ada yang cariin nih” kata suara dari luar kamarku dan sudah pasti itu mas karyo.

“siapa mas?”

“gag tahu, katanya mau ketemu sama yang punya rumah ini,den. Dari Jakarta lo den” Jelas mas karyo.

“suruh tunggu sebentar ya mas.”pintaku.

Kupaksa badanku untuk bangun dan membilas wajahku sekenanya, orang-orang disini memang masih terlalu menganggungkan sebuah kata Jakarta, dimana orang-orang hebat terletak disana. Kupakai pakaian kebangsaanku yaitu kaos oblong dan jeans belel.

“kurasa riwayat jeans ini akan segera berakhir”batinku melihat kain yang sudah robek bukan cuma di bagiaan dengkul tapi hampir keseluruhan bagian celana itu.

Kuturuni tangga rumah ku yang terbuat dari keramik sehingga membuat kedinginan pagi komplit dengan dinginya jemari kakiku. Kulihat wanita yang tidak asing lagi wajahnya, rambut panjang sepunggug, badan tinggi semampai layaknya model sabun dan shampoo di iklan-iklan tv swasta, raut wajah optimis tapi manis apalagi jika tersenyum.

“ sely?” kumerasa mengenal dia yang dulu adalah teman satu smaku dulu.

“hmm,gilang yah?” katanya sambil menunjuk ke arahku.

“iyah ini aku.” dengan cepat dia langsung memelukku. Agak terlihat berlebihan, tapi aku sudah tahu pasti reaksinya.

“duduk sel.”kupersilahkan teman lama satu sma ku yang juga lumayan terkenal kecantikannya duduk di kursi terbuat dari bamboo anyaman. Aku memang sengaja tidak mempersilahkanya masuk kedalam ruang tamuku,karena sudah kusulap sedemikian rupa hinga penuh dengan peralatan kamera SLR dan teleskop-teleskopku.

“kamu ngapain disini?” tanyaku sedikit canggung melihat anak yang selalu kubilang kecil ini sudah bisa membuatku sangat kagum.

“sekarang aku kerja disini, jadi assisten direktur loh.” Senyumnya sangat manis dengan dandanan wanita karir yang terlihat sangat dewasa.

“ohh,jadi kamu toh bos barunya?”

“gag kok, sekarang kan pabrik rokok ini kepemilikannya sudah berpindah tangan. Kamu kerja disini juga? Bagian apa?”tanyanya penuh ingin tahu.

“gag, aku kerja sebagai notaries.” Jelasku

“kok gag?” tanyanya berhenti.

“untung aja ayahku masih punya modal untuk bikin kantor notaries sendiri, jadi aku tinggal diam aja disini nunggu anak buahku meminta tanda tanganku.” Jawabku jahil.

“ihhh, sombong banget, masih kayak dulu.”

“hehe,bercanda kok. Aku punya orang kepercayaan disana jadi aku tinggal sebulan sekali lah ngecek gimana perkembangnya.” Aku merendah, walaupun aku sangat jarang untuk mengecek apa yang sedang terjadi di dalam usahaku. Aku hanya mengeceknya via telepon.

“lalu kamu kesini ada angin apa?”tanyaku heran kenapa seseorang seperti sely bisa berada disini.

“aku dimnta tolong bosku, kamu mau gag ngejual rumah ini? bos ku berminat membeli dengan harga yang sangat tinggi loh”

“ngejual? Rumah ini?”

“iyalah masa rumah aku” tawanya terkekeh memperlihatkan betapa manisnya senyumnya.

“duhh, gag bisa sel” jawabku mantap.

“kenapa? Emangnya orang kayak kamu kerasan tinggal di tempat kayak gini?” tanyanya kaget dengan jawabanku.

“bisa dibilang lebih dari kerasan kali yah, abis aku sudah bosan juga hidup di kota sumpek itu.”jawabku berbohong kalau aku kerasan hidup sendiri dan terpencil disini, bagi orang yang lumayan baik dalam pergaulan mungkin tempat ini adalah neraka bagi mereka,mereka hanya bisa berteman dengan buruh-buruh pabrik yang selalu berceloteh bahwa gajinya pada bulan ini harus habiz dengan cepat.

“yahh, trus gimana dong lang? soalnya tuh, bos aku bilang bagaimanapun caranya selama dia tinggal disini dia mau nya tinggal di rumah kamu.” Dia menjelaskan atasanya sembari memainkan rambut panjang yang harumnya pun tercium sampai ketempatku duduk.

“hmm, susah juga yah bos kamu itu. Suruh bos kamu dateng kesini beberapa tahun lagi deh. Mungkin aku dah berminat buat ngejual rumah ini”semoga tahun-tahun berikutnya aku memang sudah meninggalkan rumah dan dunia ini.

“yaudah deh, makasih yah, aku harus pergi dulu, senang juga ketemu teman lama.”sambil menyalami tangan dingin ku.

“oke, sampe ketemu lagi yah sel.”jawabku membalas lambaian tanganya. Dia sangat jauh berbeda waktu di sma, pakaian seragam putih abu-abu memang membuat wanita sperti dia kurang terlihat cantik. Blus disertai rok pendek ala wanita karir memang sangat cocok dipakai wanita secantik dia. Bayangan mobil corona merah maroon ditelan terjalnya jalan menurun menyudahi pertemuanku dengan teman lama tak terduga.

Pertemuan yang bisa dibilang aneh ini membuatku sedikit bahagia. Aku tidak tahu kenapa aku bisa merasakan perasaan senang itu,mungkin aku memang rindu dengan aktivitasku yang lama. Dimana aku bukanlah seorang dengan kebiasaan berdiam diri hanya melihati bintang dan menanti-nanti kapan ajal yang sseharusnya datang tak juga menjemputku.

“sudahlah, dia bukan siapa-siapa dan gag akan menjadi siapa-siapa.” Pikirku membuang lamunanku yang sudah mulai melayang-layang. Apalagi dia adalah masa lalu yang juga mengetahui diriku yang sebenarnya. Aku yang benar-benar aku.

Kuraih handuk berwarna putih susu yang tersangkut pada belakang pintu kamar mandi, dan saat ingn membuka baju oblong tipis kegemaranku. Aku serasa melayang,kesadaranku hilang begitu saja.

*

Pusing mengisi disemua bagian dalam kepalaku, kupaksa mataku untuk membukakan sedikit saja bagian kelopaknya. Aku hanya ingin tahu dimana sekarang aku berada, walaupun sudah jelas dengan semua aroma obat yang sudah tidak asing bagiku.

“den,den, sudah bangun?”

“suster, ini masnya sudah bangun”teriak seseorang bersuara serak yang setiap pagi bertugas untuk membangunkanku jika waktu tidurku mencapai waktu makan siang. Aku ingat dengan saranya, pertama kali kupindah ke rumah yang sekarang kudiami. Dia berkata,

“den,kalo bangun tuh jangan siang-siang. Rejekinya nanti dipatok ayam loh.”Saran yang sangat jitu jika orang tua putus asa membangunkan anaknya untuk pergi ke sekolah tepat waktu.

Inginku bertanya mengapa ku bisa berada dalam ruangan penuh dengan aroma obat-obatan ini, tapi tenggorkanku serasa tercekat oleh duri-duri tajam. Aku hanya bisa mengerang kesakitan merasakan kepalaku berbalut perban.

“sudah den, diam dulu saja. Pas tadi mas karyo denger ada suara jatuh trus liat aden di kamar mandi kepalanya bocor kepentok bak mandi, makanya mas karyo bawa kesini. Kayaknya tadi sama dokter sudah di obatin deh lukanya den. Trus kata dokter gapapa kog, lukanya Cuma luka kecil, tapi mas karyo takut ngeliat darah aden banyak banget di kamar mandi tadi dan pingsan lagi”jelas mas karyo seperti melihat kejadian sesungguhnya saja.

“sial,bakal berapa bulan nih luka bakal sembuh” sesalku mengapa harus bisa terjadi hal paling memuakkan bagiku.

“makanya den, kalo mau mandi tuh hati-hati, kan lantainya memang licin banget. Jadi kepeleset kan tuh.” Terus mas karyo menasihatiku.

“yah, seenggaknya mas karyo dan dokter disini belum tahu sakitku sebenarnya.”pikirku bersyukur.

“mas, pulang sekarang yuk. Tolong obatnya sama biaya rumah sakitnya mas urus yah, mas masih inget kan cara pake kartu kreditku?” Pintaku dengan suara super serak dan super pelan. Mas karyo adalah satu-satunya orang yang kupercayai memegang kartu kreditku. Tidak pernah ada pembengkakan biaya apapun selama dia memegang kartu kreditku.

“iya den, sebentar yah.” Kubangunkan diriku dibantu suster yang sedari tadi melihat percakapanku dengan mas karyo.

“kalau memang belum bisa untuk bangun jangan dipaksa ya pak.” Kata suster itu ragu melihat caraku berjalan.

“ohh, gak papa kok mbak.” Kuberikan senyuman mautku untuk membarikan rasa percaya kepada suster lumayan cantik jika berada di atas gunung perkebunan tembakau yang kudiami. Kuberjalan melewati lorong rumah sakit berhias patung-patung malaikat kecil bersayap merpati.

“kurasa kelebihan rumah sakit kecil ini hanya terletak di patung-patung indah malaikat kecil ini.”pikirku tersenyum melihat kumpulan patung yang juga tersenyum kepadaku.

Seperti diberi kekuatan setelah melihat patung kecil itu, aku berdiri di samping pintu mobil yang diparkir mas karyo di bawah pohon rindang, aku sudah tak perduli pohon apa yang melindungi mobil kesayanganku dengan rindangnya dedaunan sehingga matahari pun tak mampu untuk menyakti kendaraanku dengan terik sinar senjanya. Tak lama datang juga mas karyo membawa bungkusan putih bergambar ular dan cawan yang sudah pasti berisi obat-obat yang harus kuminum.

“istirahat saja den, biar mas yang bawa mobilnya.” Sembari memutarkan kunci mobil yang baru saja diambil dari saku celananya. Dia baru saja belajar mobil ketika aku memintanya agar dia bisa menjadi lebih hebat daripada orang-orang lain di kampungnya. Walaupun baru belajar mas karyo sudah mahir membawa kendaraan roda empat,belum genap tiga bulan setelah dia belajar mobil dengan ku dia mengajakku utnuk melihat kemampuan berkendara yang dilatihnya sesudah menonton film tentang para pembalap liar di amerika. Dia menunjukkan skill drifting seperti professional, skill dimana semua pecinta otomotif sangat ingin untuk menguasainya.

“dari mana mas belajar kayak gini?”tanyaku terheran dan antusias melihat kemampuanya mengendarai mobil yang akupun sangat ingin untuk bisa seperti itu.

“mas belajar pakai mobil pick up untuk angkat tembakau pabrik.”kupikir jika dia bisa hidup seperti aku, mungkin sekarang dia sudah berada di arena balap mobil.

Aku terkulai lemah diatas jok kulit berwarna putih susu.

“mas jangan kencang-kencang yah.”pintaku memperingatkan karena aku sudah bosan untuk mempompa jantungku jika dia sudah membawa mobil kesayangku ini. ibarat mainan dia memainkan memutarkan setir, rem tangan dan kaki jika sedang ingin menyombongkan kehebatanya.

“iyah den.”jawabnya dengan raut muka terlihat bosan.

Dua puluh menit adalah waktu yang sangat cepat untuk jarak dari rumah sakit hingga rumah kediamanku, walaupun tidak menunnjukan skill driftingnya dia tetap tangkas meliuk-liukan mobilku di jalan yang berkelok-kelok.

“mas karyo, malam ini aku mau makan soto betawi dong. Tolong dicarikan yah mas.” Aku memang suka aneh-aneh jika sudah merasa sakit. Layaknya wanita hamil yang sedang mengidam sesuatu, aku juga sperti itu jika sedang merasa sakit.

“pasti mas cariian, pokonya sekarang aden istirahat saja, biar mas karyo yang urus semuanya.” Dengan lagak seorang perwira sedang mengiyakan perintah sang jendral mas karyo menyanggupi permintaan tolongku. Aku merasa beruntung punya seorang yang juga bisa dibilang pembantu di rumahku ini ternyata sangat baik dan juga perhatian kepadaku.

Matahari sudah meninggalkan sinarnya yang berganti dengan bulan penuh bersama kelap-kelipnya bintang di kegelapan malam. Aku menantikan datangnya mas karyo karena kurasakan sudah terjadi perang dunia ketiga diperutku yang meronta-ronta minta untuk di isi. Baru saja aku ingin menyalakan batangan tembakau agar menjadi pengganjal perut laparku yang semakin liar, kudengar suara knalpot mobil yang biasa aku dengar.

“panjang umur mas karyo, baru aja dipikirin. Eh, udah dateng ajah.” Batinku.

Tapi bukan seorang laki-laki besar berkupluk garis-garis belang yang keluar dari mobilku melainkan wanita berambut indah sepanjang punggung yang baru saja kutemui pagi tadi.

“loh kok? Mas karyo mana sel?” tanyaku gugup.

“tadi pas beli rokok di warkop bawah situ,mas karyo ketemu aku. katanya dia kamu jatuh yah di kamar mandi? karena kayaknya kamu lapar banget jadi aku yang bawain ajah.”

“ohh.”

“kayaknya mas karyo bakal lama deh, soalnya tadi tuh dia ketemu temen lamanya gitu lang.”belum habis heranku dia sudah menjelaskan apa saja yang ingin kutanyakan.

“oh iya, nih makanan kamu.” Sembari menyodorkan bungkusan hitam yang sudah pasti berisi soto betawi kesukaanku.

“ Aku ambilin mangkoknya yah.”

“gag usah sel, biar aku ajah” sergahku memegang tanganya.

“udah deh jangan bandel, kamu duduk ajah.” Dia berjalan masuk kedalam rumahku dan kuyakin dia juga belum tahu letak dimana dapur nya berada. tak butuh waktu lama dia sudah keluar dengan semangkok soto betawi yang aromanya membuat perutku menjadi semakin meronta da segelas air putih dingin.

“kamu gag makan juga?”

“gag ah, kan satunya lagi buat mas siapa tuh namanya?”

“mas karyo”

“hu uh, kan buat mas karyo lagipula aku juga lagi diet.”jelasnya duduk dan mengaduk-ngaduk soto bersantan itu.

“aku suapin yah.” Melihat ketulusanya membantuku membuat hatiku tak enak jika menolak bantuan dari dia, apalagi bantuan dari teman lama yang juga dekat denganku. Dia meniup-niup soto yang terlihat panas dengan uap mengembul.

“aaak.” Dia mengisayaratkan aku untuk membuka mulutku. Aku tidak tahu mengapa soto ini menjadi sangat enak, kurasakan kenyang saat melahap sesendok soto kesukaanku yang sudah pasti jika biasanya aku lapar bisa menghabiskan beberapa porsi dengan lahap.

“sel, lidahnya masih gag enak.”

“ya udah jangan dipaksain, kalo orang sakit memang begitu kan.” Ternyata senyumnya yang membuatku merasa sangat kenyang. Hanya dengan senyum manisnya dia bisa meredamkan demo cacing-cacing kelaparan didalam perutku.

“aku gag liat kamu pas pemakaman andre dan martin.” Aku terkejut mendengar pertanyaanya tidak basa-basi dan langsung mengarah kepada pointnya. Aku rasa dia juga sudah tahu mengapa aku harus mengasingkan diriku sampai kesini dan mengapa dulu aku menolak cintanya.

“aku sengaja gag datang pas pemakamanya, karena aku masih gag rela liat mereka yang ngedahuluin aku. lagipula aku bisa hidup baru disini. Disini aku bisa punya cinta yang sudah lama aku ilangin selama disana,aku bisa merasakan sesuatu yang indah walaupun tak sanggup kupunya.”

“ aku bisa liat kok, terlihat jelas dimata kamu.”

“makasih sel, tapi.”

“ssstt” dia memotong dan menutup kedua bibirku dengan jari berkuku panjang yang sudah pasti setiap bulannya dia banyak menghabiskan uangnya untuk manicure-pedicure kukunya.

“sampai saat ini, aku yakin kamu pasti bisa berubah. Aku gag tahu seseorang sehebat apa yang bisa ngebuat kamu kayak gini. Tapi aku senang banget bisa ketemu kamu dan liat reaksi kamu ke aku tadi pagi.” Dia benar-benar membuatku merasa bangga dengan semua rasanya kepadaku.

“reaksi yang gimana tuh?” tanyaku mengingat-ingat kejadian yang membuatku bahagia bertemu denganya.

“dimana kamu ngeliat aku dari kepala sampai kaki kayak ngeliat hantu.”tawanya meledak.

“yhee, mana ada di tempat kayak gini ada cewek secantik kamu, aku kirain kamu cewek jadi-jadian yang mau gerayangin aku.” ledek aku lagi.

“ihh,, jahat. Mana ada cewek jadi-jadian secantik aku trus mau gerayangin kamu.”

“ada”

“hah?” dia terlihat kaget melihat jawabanku dengan pedenya.

“nih didepanku.” Aku menunjuknya .

“aahh,ngeselinn.” Dia mencubit-cubit pingangku, mungkin sebenarnya itu bukan cubitan melainkan kelitikan kepinggangku karena aku lebih merasa geli daripada sakit.

“aku salah, kamu tuh gag berubah, kamu tetap jadi gilang yang bisa ngebuat aku.”giliranku menutup bibir merahnya, kudekatkan badanku kepadanya, tanpa berkata sepatah kata pun aku mencium bibirnya. Kubiarkan beberapa saat mencium bibirnya dan setelah kurasakan ciuman ini,aku tahu kalau dia masih mencintaiku seperti yang dia katakan kepadaku dulu.

“kamu tahu, kamu tetap jadi gilang yang bisa ngebuat aku merasakan cinta, cinta yang sebenarnya.” Kuhanya terdiam kaku menyandarkan keningkku di keningnya.

Suasana malam di iringi suara jangkrik dan terangnya bulan membuat sempurna hari pertama kali kubertemu denganya lagi.

*

“mas karyooo, kunci mobilnya mana?” teriaku mencari sebuah kunci mobil di atas rak tempat biasa aku taruh kunci.

“mau kemana to den? Kok kayaknya buru-buru sekali?” tanya mas karyo yang membawa kunci mobil kesayanganku.

“aku mau ketemu sely mas.”jawabku sembari memakai sepatu.

“wah,sukses ya den.”

“makasih mas.” Kulambaikan tanganku tanda aku sangat buru-buru.

Aku sudah dua bulan ini selalu jalan denganya jika waktu aku dan dia mempunyai waktu kosong. Waktu dua bulan seharusnya cukup untuk membuat seseorang jatuh dalam cinta,tapi ku masih tak bisa melupakan wanita yang sudah mengambil hatiku dan entah dimana. Dan sekarang aku yakin dia punya kejutan yang sangat hebat karena dia benar-benar memintaku tuk saat ini datang ke rumahnya. Aku sudah tak sabar menemuinya, menanti kejutan apa yang kan dia berikan kepadaku.

Kumasuki gerbang perumahan khusus untuk petinggi-petinggi pabrik rokok, rumah bernuansa kebarat-baratan dengan jelas menghiasi rumah para petinggi-petinggi pabrik ini. tak lama aku mencari rumah teduh berwarna krem dan hijau dipenuhi tanaman-tanaman berpot sangat besar.

Baru saja aku ingin membuka pagar pendek terbuat dari kayu. Kulihat wanita cantik berkuncir kuda tersenyum kepadaku.

“nyasar yah?”ledeknya karena aku memang terlambat satu jam dari jadwal yang kujanjikan.

“abisnya aku bingung pakai baju apa yang pantas buat ketemu mertua.”ledekku lagi. dia tertawa terkekeh mendengar pernyataanku.

“duduk lang, mau minum apa?”tanyanya.

“kayak biasa ada gag?”aku malah balik bertanya.

“ada dong, kan sudah aku siapin. Bentar yah.” Dia masuk ke dalam rumah dan meninggalkan aku bersama ikan-ikan koi di kolamnya.

“pesanan datang.”Seperti pelayan restoran dia membawa baki penuh dengan coke dan es.

“ada angin apa ngajak aku kesini sel?”

“aku ingin kamu ketemu sama seseorang.”katanya. dia memberikan es kepada gelas kosong sehingga menimbulkan embun pada dinding gelas-gelas itu.

“ketemu siapa?”tanyaku heran.

“sebentar yah, kamu minum dulu nih.” Dia kembali ke dalam rumah dan meninggalkanku lagidengan ikan-ikan koi yang bertahan terhadapa arus dari air mancur.

Suara anak kecil yang tentu belum bisa bicara dengan baik membangunkaku dari lamunan ikan-ikan koi itu. anak manis yang dibantu sely untuk berjalan terlihat mirip sekali denganya.

“lucunya. Anak siapa sel?” kuteguk coke dingin meyegarkan kerongkonganku dihari panas yang terlihat mau hujan ini.

“anakku, aku mau ngenalin kamu ke anaku ini lang.”

“uhuk.”aku tersedak saat dia bilang anak manis mirip denganya itu adalah anaknya.

“david, itu om gilang teman mama. Lang ini david.” Dia memainkan tangan kecil anak manis yang memegang boneka bebek berwarna kuning dan memberinya ciuman hangat di kepalanya.

“trus kenapa gag bilang dari awal?”

“ini baru awal, awal pertemanan kita lagi.”katanya.

“ohh, mendingan aku pulang yah. Kamu pasti kangen sama anak kamu kan sudah lama gag ketemu.”ku tidak tahu mengapa ku bisa menjadi semarah ini, padahal aku belum bisa mencintainya. Seharusnya aku tahu ini bukan tentang cinta ini semua hanya tentang persahabatan.

“tunggu lang. mbak inahh.” Di berteriak memanggil seseorang yang sudah pasti baby sister anak manisnya.

“kita cari tempat lain untuk ngomong.” Menurutku itu usulan yang bagus, karena sangat jelek jika tetangga melihat aku memarahinya.

Kutancap mobilku mengelilingi perumahan elite dan keluar dari gerbang yang sama kumasuki. Kami berdua hanya diam diperjalanan tanpa arah ini.

“dulu saat aku tahu kalian bertiga positif terkena hiv/aids , aku memang sempat mundur untuk ngedapetin kamu.” Dia memulai pembicaraan dengan mimic muka yang serius.

“trus ?”

“aku gag tahu magnet apa yang selalu membuat aku mikirin kamu, aku tahu kamu pergi entah kemana. Disaat ku meyakinkan hatiku untuk ngelupain kamu, semakin aku tahu aku terlalu cinta kamu. Aku merindukan kamu lang.” penjelasan yang sangat jarang bagi wanita cantik seperti dia untuk mengungkapkan isi dihatinya. Kuyakin puluhan orang dulu di Sma bahkan sampai saat ini masih mengantri untuk dipilihnya.

“sudahlah sel, gag usah dilanjutin lagi.” desahku.

“ratusan kali aku tanya ke mama kamu dimana kamu saat itu, dan ratusan kali juga penolakan mama kamu tuk ngasih tahu kamu dimana. Sampai aku tahu kamu di semarang dan kuliah disana. Akhirnya aku tahu kamu tinggal dimana.” Apakah aku akan seperti dia jika aku mencintai seseorang,pikiranku beraduk mendengar ceritanya.

“sel,kamu tahu kan dulu aku kayak apa?”

“karena aku tahu kamu kayak apa,itu yang ngebuat aku gag bisa lupain kamu. Kamu inget saat kamu ngejaga aku dari gerombolan orang yang mau memperkosa aku? aku pikir masa depan aku akan hancur saat itu. Tiba-tiba kamu datang tanpa pikir panjang menyelamatkan aku walaupun kamu sendiri hampir mati gara-gara perkelahian itu.” Ternyata gadis yang dulu kuselamatkan hingga aku mendapatkan 3 tusukan diperutku dan membuatku dirawat selama tiga bulan adalah sely. Pantas saja setiap pagi kulihat bunga berbeda di setiap harinya,itu sudah pasti ulahnya yang kukira mamaku.

“di saat aku mencari kamu aku sudah gag peduli lagi dengan masa depanku, aku hanya ingin kamu bahagia bersamaku. Tapi yang kutemukan, aku melihat mu dengan wanita lain, wanita yang bisa membuatmu tersenyum lepas yang tak pernah kulihat sebelumnya. Bukan hanya itu, aku melihat penuh cinta di mata kamu saat memandangnya. Satu hal seumur hidupku yang ku inginkan.” Dia menangis tersedu-sedu tak halnya dengan langit ikut bersedih dengan meneteskan air hujannya. Kuhentikan mobilku dibawah pohon besar karena hujan lebat membuat penglihatanku kabur. Kulihat dirinya menangis dengan kedua telapak tangan menutup kepalanya, aku hanya bisa terdiam mendengar semuanya. Hanya bisa terdiam.

“sel, kamu tahu dulu aku suka kepada sesama jenisku?” tanyaku menyakiti hatiku sendiri, ingatan-ingatan yang sudah aku kubur dalam-dalam dengan cintaku kepada seorang perempuan. Tanganku meremas setir mobil, karena sekarang aku sangat malu menceritakannya kepada orang lain. Berbeda dengan waktu dulu aku mengumbar kepada semua orang bahwa aku dan kedua temanku adalah pasangan.

“yah, aku dengar gosipnya, dan aku juga dengar gossip keluarga kamu. Kenapa sih kamu selalu lari dalam setiap masalah kamu, aku tahu itu semua hanya pelampiasan kamu dari rumah dan kamu hanya salah bergaul. Sesungguhnya hati kamu menolak itu semua, karena aku gag pernah lihat seorang lelaki segagah kamu di dunia ini.”aku yang dulu mengangap sely tak pernah ada, dimatanya aku adalah seorang lelaki yang gagah. Jujur aku tidak tahu dia sedang meledek aku atau sedang memujiku, karena dahulu dia tahu aku suka dengan sesama jenisku. Aku adalah seorang homoseksual pada saat itu.

“kamu tahu, kamu adalah satu-satunya orang yang bisa ngebuat aku tergila-gila hanya dengan senyumanmu. Kamu adalah satu-satunya orang yang bisa ngebuat aku, mau mati jika gag denger suara kamu.” Terdengar gombal sekali jika seseorang sedang merayu kekasihnya untuk mendapatkan cintanya atau hanya sekedar memperbaiki hubungan mereka yang sudah rusak. Tetapi tidak untuk sely, mimic muka serius disertai tangisan yang masih tersedu-sedu memperlihatkan keseriusanya dalam setiap katanya kepadaku.

“maafin aku lang, aku Cuma ingin kamu tahu kalo sekarang aku sudah punya anak. Bukan maksud aku buat kamu marah, tapi ini semuanya karena ketakutanku agar bisa ngilangin harapan ngedapetin kamu lagi. lagipula selama beberapa bulan ini aku masih melihat kamu belum bisa cinta sama aku.” ku tak tahu lagi bagaimana mengungkapkan rasa baiknya Tuhan kepadaku, di hari-hari yang kurasa sudah mendekati ajalku. Tuhan masih memberikanku orang-orang yang bisa mencintaiku apa adanya, bukan karena aku ada apanya. Semua ini membuatku bangga dengan hidup yang berserah kepadaNya.

Yah, hingga saat ini aku selalu berdoa agar aku bisa menjadi orang yang berarti untuk orang lain. Dimana dengan sisa-sisa hidupku ini bisa menjadi kesaksian bagi orang-orang lain di dekatku. Tetapi mengapa rasa kebangganku membuat hatiku merasa hancur melihat orang-orang yang peduli dan menyayangiku tidak bisa menghabisakan waktu hidupnya bersamaku. Kututup mataku mengumpulkan semua suara dentingan hujan yang mengenai hampir keseluruhan mobilku.

“hidup dengan cinta adalah hal temanis dan terindah dalam setiap kehidupan seseorang, aku bersyukur jika masih ada seseorang yang mencintaiku. Tapi satu hal di dunia ini yang gag akan pernah aku lakuin ke kamu maupun seseorang diluar sana yang dapat membuatku merasakan cinta.” Kutarik nafasku dalam-dalam meyakinkan tuk berkata.

“ Aku gag bisa memberikan cinta tanpa hidupku.” Pelan tapi pasti kubeberkan rahasia paling kujaga selama ini. Akhirnya rahasia hatiku dapat ku utarakan, mungkin bagi orang lain aku seorang egois tanpa memikirkan perasaan orang lain yang sudah dapat menerimaku apa adanya bahkan orang lain yang juga sudah merelakan kehidupanya untuk bersamaku. Bagiku apakah dunia ini adil jika seseorang seperti mereka hanya mendapatkan aku, aku yang mempunyai masa lalu kelam,sekelam gelapnya malam-malam tanpa bintang dan rembulan.

Kami berdua terdiam , kurilekskan sandaranku pada jok kulit warna putih ber-headrest boneka snoopy yang selaras. Kami berdua hanya melayangkan pandangan kami ke depan jalan raya sepi, hamper tidak ada satupun kendaraan bermotor yang lewat kecuali sepeda ontel dikendarai oleh pekerja pemetik tembakau yang sudah pasti baru pulang dari tugasnya. Tidak terdengar lagi suara terisak-isak dari wanita cantik disebalahku, kumainkan jemariku pada setir tanda kalau aku sudah kehabisan kata untuk memecah keheningan.

“bestfriend?” tanpa basa-basi dan juga sekaligus pemecah suasana dia berkata, terlihat sekali dia juga sudah tidak mempunyai kata-kata lain selain itu. Dia mendekatkan jarinya kepadaku dengan kelingking mengacung ke atas untuk mengikrarkan janji.

“forever.” Kubalas acungan jemari kelingking kecilnya. Entah mengapa suasana menjadi romantic begitu kami menyatukan jemari kami, karena hujan lebat yang mengguyur kami menjadi gerimis sehingga memperlihatkan sang surya menampakkan sinarnya diantara awan-awan tipis di senja hari. Oranye bercampur dengan hijaunya perkebunan tembakau sebagai alas untuk pemandangan kami bagai restu bumi terhadap janji kami. Waktu seakan berhenti saat kami beradu pandang, aku tak mengerti apa yang ingin dia lakukan, tapi jujur aku sangat ingin memeluknya. Seperti tahu apa yang ada dalam otakku dia mendekatkan bibir manisnya ke bibirku, tanpa kata kucumbu dan kupeluk erat tubuhnya dan dia pun memelukku tak kalah erat. pelukan yang sudah lama kudambakan, pelukan yang dapat membuatku merasakan bahwa diriku berarti.